Minggu, 30 Maret 2014

Landasan Ontologi



MAKALAH
FILSAFAT ILMU
“Landasan Ontologi “



             

KELOMPOK 1:
v  DOMINIKA   M.D   (120401080074)
v  MARIA AVELIN      (120401080069)
v  ESTIKA DADI          (120401080056)
v  SOFIANI ANJELA   (120401080010)
v  RITA RAHAYU        (130401080056)
v  WIWIN NUR  I.S      (130401080001)
v  MARIA IDA  F          (130401080002)     


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2013


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepadaTuhan  Yang  Maha Esa ,karena atas rahmat dan hidayah –Nya  ,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Landasan Ontologi  ini dengan tepat waktu .
kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut serta dalam penyelesaian makalah ini.
 Selain itu kami  juga menyadari bahwa  makalah ini masih jauh dari sempurna,  untuk itu kami sangat mengharapkan  saran  dan kritik   yang   positif   demi  kesempurnaan penyusunan makalah selanjutnya  .











BAB 1      
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengetahui apa sesungguhnya ilmu, tidaklah melalui ilmu itu sendiri, tetapi melalui filsafat ilmu. Melalui filsafat ilmulah segala penjelasan mengenai ilmu diperoleh. Karena itu, filsafat ilmu demikian penting untuk didalami oleh setiap ilmuan agar ia mengenal hakikat sesuatu yang dimilikinya, yaitu ilmu.
Dalam makalah ini akan memaparkan tentang salah satu cabang dalam filsafat, yakni ontologys; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?. Dan yang paling utama ontology sesungguhnya membahas tentang bagaimana sesungguhnya eksistensi Tuhan.
Objek telaah ontology adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontology banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Persoalan tentang ‘ada’ (being) menghasilkan cabang filsafat metafisika. Meta berarti di balik physika berarti benda-benda fisik. Pengertian sederhana dari metafisika yaitu kajian tentang sifat paling dalam dan radikal dari kenyataan. Dalam kajian ini para filosof tidak mengacu pada ciri-ciri khusus dari benda-benda tertentu, akan tetapi mengacu pada ciri-ciri universal dari semua benda.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka masalah pokoknya adalah Bagaimana sesungguhnya ontology .
1. Apa Pengertian dari ontology itu sendiri?    
2. Bagaimana pandangan tentang ontology yang dibangun berdasar konsep Filsafat Barat?
3. Bagaimana sesungguhnya Objek Materi Ilmu Pengetahuan Menurut Filsafat Barat?












BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ontology
Istilah ontology baru muncul pada pertengahan abad 17, yang pada waktu itu juga muncul istilah philosophia entis atau filsafat mengenai yang ada. Tapi sebagai pencarian jawaban menganai hakikat asal alam semesta, telah dipercakapkan sebelumnya oleh para filosof awal Yunani. Paling tidak, Thales, Anaximander dan Anaximenes yang berasal dari Miletus tercatat sebagai filosof yang berbicara mengenai hakikat segala sesuatu melalui usahanya untuk menjawab sumber segala sesuatu. Pembicaraan itu kemudian berlanjut hingga para fiosof Athena sampai kepada Aristoteles. Sebagian filosof sesudahnya menempatkan pembahasan masalah ontology sebagai pembahasan metafisika.
Ontology, sebagai sebuah istilah berasal dari bahasa Yunani, yaitu on (ada) dan ontos (berada), yang kemudian disenyawakan dengan kata logos (ilmu atau study tentang). Dalam bahasa Inggris ia diserap menjadi ontology dengan pengertian sebagai study atau ilmu mengenai yang ada atau berada.
Dalam kamus Filsafat Lorens Bagus terdapat beberapa Pengertian ontology antara lain:
1. Study tentang ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari satu study tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari Yang Ada dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti: “Apa itu Ada-dalam dirinya sendiri? “Apa hakikat Ada sebagai Ada?
2. Cabang filsafat yang menggeluti tata cara dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada/menjadi, aktualitas/noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang-ada sebagai yang-ada, ketergantungan pada diri sendiri, hal mencukupi diri sendiri, hal-hal terlahir, dasar.
3. Cabang filsafat yang mencoba:
a. Melukiskan hakikat Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna).
b. Menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya.
c. Menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu.
Objek kajian ilmu itu sendiri sesungguhnya dapat dibagi menjadi:
Objek materil: pembicaraan mengenai apa yang menjadi objek penyelidikan sehingga melahirkan ilmu mengenai objek tersebut.
Objek Formal: pembicaraan mengenai bagaimana pendekatan yang digunakan terhadap suatu objek ilmu.
Jadi ontology (dalam filsafat ilmu) adalah cara pandang mengenai objek materi suatu ilmu, pembicaraan mengenai hakikat objek materi ilmu. Atau dengan kata lain penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar (akar yang paling mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan itu).
2. Beberapa Pandangan Ontology (Filsafat Barat)
Dalam relevansinya dengan pembicaraannya filsafat pengetahuan, khususnya melalui filsafat Barat, sebenarnya pembahasan masalah ontology berpusat pada keinginan untuk menjawab pertanyaan apa sesungguhnya yang dimaksud sebagai kenyataan (reality)?. Dalam filsafat, pertanyaan tersebut merupakan masalah yang ditemukan beragam jawaban filsafatinya sesuai dengan keragaman “corak” sistem kefilsafatan yang mendasarinya. Untuk itu, dengan membatasi diri pada corak kefilsafatan Barat, dari mana filsafat Barat melandaskan diri untuk menemukan bentuknya dewasa ini, akan dikemukakan secara singkat pandangan-pandangannya mengenai realitas.
1. Naturalisme
Naturalisme adalah sebuah aliran filsafat yang secara harfiah mengandung arti sebagai faham serba alam. Secara sederhana, menurut naturalisme, kenyataan pada hakikatnya bersifat kealaman, yang kategori pokoknya adalah kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu. Apapun yang nyata pasti termasuk dalam kategori alam. Sesuatu yang dapat dikategorikan demikian itu, dapat “dijumpai” dan dapat dipelajari oleh manusia, dengan cara-cara sebagaimana dikenal dewasa ini dengan metode ilmiah.
Dengan demikian pandangan ontologys naturalisme mengenai kenyataan ialah apa saja yang bersifat alam, yakni segala yang berada dalam ruang dan waktu. Akibat dari pandangan ini adalah: (1) segala sesuatu yang dianggap ada, namun di luar ruang dan waktu, tidak mungkin merupakan kenyataan, (2) segala sesuatu yang tidak mungkin dipahami melalui metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu kealaman, tidak mungkin merupakan kenyataan.
2. Materialisme
Hakikat kenyataan adalah materi. Demikian doktrin pandangan filsafat materialisme. Doktrin tersebut didasarkan pada argument filosofis bahwa segala sesuatu yang hendak dikatakan nyata.
 (1) pada hakekatnya berawal dari materi, atau (2) terjadi karena gejala-gejala yang bersangkutan dengan materi. Karena itu, materialisme menyatakan bahwa tidak ada entitas nonmaterial dan kenyataan supranatural. Pikiran dan aksi mental lain yang oleh kebanyakan orang dianggap tidak bersubstansi material, pada dasarnya adalah perwujudan dari gejala-gejala yang bersangkut paut dengan materi.
Materialisme menolak hal – hal yang tidak kelihatan. Baginya, yang ada sesungguhnya adalah keberadaan yang semata-mata bersifat material atau sama sekali tergantung pada material. Jadi realitas yang sesungguhnya adalah lambang kebendaan dan segala sesuatu yang mengatasi alam kebendaan. Oleh sebab itu seluruh realitas hanya mungkin dijelaskan secara materialistic.
3. Idealisme
Bertolak belakang dengan materialisme dan naturalisme, idealisme merupakan satu corak kefilsafatan yang berpandangan bahwa hakikat terdalam dari kenyataan tidaklah bersifat materi, melainkan bersifat rohani dan spiritual (kejiwaan). Karena itu istilah idealisme terkadang dikenal juga dengan istilah immaterialisme atau mentalisme.
George Barkeley yang dianggap sebagai bapak idealisme modern memadatkan inti idealisme dalam ungkapannya “Esse est Percipi” (untuk ada, berarti mengetahui atau diketahui). Sesuatu tidak mungkin dinyatakan ada selama sesuatu itu tidak mengetahui atau tidak diketahui. Sesuatu yang mengetahui adalah jiwa, dan sesuatu yang diketahui adalah konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan yang berada dalam wilayah persepsi dan pengetahuan inderawi. Dengan demikian kita harus percaya adanya jiwa dan gagasan-gagasan itu. Segala sesuatu yang berada di luar lingkup pengetahuan, yaitu segala sesuatu yang objektif, tidak ada karena tidak diketahui.
4. Hilomorfisme
Hilomorfisme merupakan istilah yang dalam bahasa yunani merupakan bentukan dari dua kata yaitu hyle (materi) dan morphe (bentuk, rupa). Hilomorfisme meletakkan pandangannya dengan doktrin bahwa tidak satupun hal yang bersifat fisis yang bukan merupakan kesatuan dari esensi dan eksistensi. Artinya ia selalu memiliki sifat fisis dan hakikat tertentu. Eksistensi dapat dipersepsi secara inderawi dan esensi dapat dipahami secara akali. Misalnya sebuah kursi (sebagai suatu yang bereksistensi). Kursi itu adalah sesuatu yang ada. Berada dalam kenyataan, dan menapak dalam ruang dan waktu. Karena itu ia bereksistensi dan potensial dipersepsi secara inderawi. Apa seesungguhnya hakikatnya sebagai sesuatu yang bereksistensi?. Tidak lain adalah kursi. Ke’kursi’an adalah esensi dari kursi itu dan merupakan keapaan (whatness) kursi yang dapat dipahami secara akali. Dalam hal ini, upaya memahami keberadaan (isness) kursi yang bereksistensi tida dapat dipahami tanpa adanya dirinya dengan keapaan (whatness) sebagai kursi.
5. Positivisme
Positivisme adalah aliran filsafat yang secara radikal beranjak dan ketidak percayaan terhadap pandangan-pandangan dan pembicaraan-pembicaraan metafisis yang dilakukan oleh aliran filsafat sebelumnya. karena itu, para penganutnya menyatakan bahwa positivisme adalah suatu filsafat non metafisik.
Dalam pandangan positivisme, pertanyaan-pertanyaan metafisis sama sekali tidak mengandung makna, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak ada gunanya. Pada dasarnya, satu-satunya tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui kenyataan adalah apa yang disebut sebagai keadaan yang dapat diverifikasi (criterion of veribality). Misalnya, pernyataan metafisis yang mengatakan bahwa “ada substansi terdalam dari segenap hal yang nampak”, jelas adalah pernyataan yang tidak ada gunanya karena tidak bermakna, karena tak satupun pengamatan inderawi yang bisa dilakukan untuk mengambil keputusan terhadap kebenaran pernyataan tersebut, dan karenanya ia tak bisa dipertanggungjawabkan.
Implikasi Pandangan Ontologys Pada Filsafat Barat.
Betapapun di atas telah ditunjukkan bahwa terdapat beberapa pandangan filsafati yang secara berbeda berbicara mengenai hakikat kenyataan, namun dalam filsafat Barat secara bersama ia menunjukkan cara pandang mengenai obyek materi ilmu dengan karakteristik :
a). Memandang obyek materi ilmu tidak dalam kerangka pandangan adanya pencipta yang memandang segala sesuatu selain pencipta adalah ciptaan.
b). Memandang sesuatu sebagai suatu obyek materi ilmu sejauh ia berada dalam jangkauan indra dan/atau rasio manusia untuk bisa memahaminya, dan pemahaman atasnya merupakan fungsi dari indra dan/atau rasio itu.
c). Memandang keberadaan obyek materi ilmu hanya dalam rangka ruang dan waktu dunia belaka.
d). Memandang obyek materi ilmu diatur oleh hukum-hukum keberadaan, namun tidak mempersoalkan asal hukum-hukum keberadaan itu.
3. Objek Materi Ilmu Pengetahuan Menurut Filsafat Barat
Dengan karakteristik pandangan ontologys sebagaimana dikemukakan di atas, filsafat Barat akhirnya memandang bahwa pengetahuan ilmiah (scientific knowledge atau science atau ilmu) adalah pengetahuan mengenai obyek-obyek materi yang dapat dijangkau oleh indra lahiriah dan/atau pemahaman rasional manusia dianggap di luar wilayah obyek materi ilmu. Bahkan secara sempit, diantara filsuf science dan scientist ada yang hanya mengakui keberadaan obyek-obyek inderawi sebagai obyek materi ilmu, dengan implikasi bahwa yang disebut pengetahuan ilmiah (science) hanyalah pengetahuan mengenai obyek-obyek tersebut yang telah diperoleh melalui metode ilmiah ilmu-ilmu kealaman. Padangan demikian itu, terutama ditunjukkan oleh penganut empirisme, positivisme, naturalisme materialisme.
Dalam menegaskan wilayah obyek materi ilmu Jujun S. Suriasumantri (1990) menyatakan bahwa yang menjadi karakteristik obyek ontologys ilmu, yang membedakannya sebagai pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan lain, ialah bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengamalan manusia. Untuk lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan pernyataan tersebut, Suriasumantri mengajukan sebuah pernyataan “apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka?” yang kemudian dijawabnya sendiri, “tidak; sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman kita”.

                                                             BAB III
                                                          PENUTUP
Kesimpulan
1. Filsafat Barat memandang ontology (objek materi ilmu) tidaklah berkisar pada kerangka pencipta dan ciptaan, lebih kepada jangkauan inderawi dalam kerangka ruang dan waktu (dunia belaka) yang diatur oleh hukum-hukum keberadaan sehingga surga, neraka, malaikat, Tuhan dan nilai-nilai moral tidak dimasukkan dalam pengetahuan ilmiah.













Daftar Pustaka
Soejono Soemargono. 1983. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Nur Cahaya: Yogyakarta.
Yuyun S. Suriasumantri. 1991. Ilmu dalam Perspektif. Gramedia: Jakarta.
Tim Dosen Filsafat Ilmu fakultas filsafat UGM.Filsafat Ilmu.Liberty:Yogyakarta.
http://imdikotaparepare.blogspot.com/2012/11/epistemologi-sebagai-landasan.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar