Minggu, 30 Maret 2014

Landasan Pendidikan



1.    Definisi Karakter

Dennis Coon dalam bukunya Introduction to Psychology : Exploration and Aplication mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat. Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat.

2.    Karakter dan Kepribadian (Sifat Dasar)

2.1 Tipe Kepribadian

Kepribadian adalah hadiah dari Tuhan Sang Pencipta saat manusia dilahirkan dan setiap orang yang memiliki kepribadian pasti ada kelemahannya dan kelebihannya di aspek kehidupan sosial dan masing-masing pribadi. Kepribadian manusia secara umum ada 4, yaitu: Koleris – Sanguinis – Phlegmatis – Melankolis.
Nah, Karakternya dimana? Saat setiap manusia belajar untuk mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta memunculkan kebiasaan positif yang baru, inilah yang disebut dengan Karakter. Misalnya, seorang dengan kepribadian Sanguin yang sangat suka bercanda dan terkesan tidak serius, lalu sadar dan belajar sehingga mampu membawa dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan perhatian fokus, itulah Karakter.
Pada dasarnya, pada perkembangan seorang anak adalah mengembangkan pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia ini bekerja, mempelajari ”aturan main” segala aspek yang  ada di dunia ini . Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter.

Begitu banyak tipe kepribadian menurut para ilmuwan. Berikut ini adalah tipe-tpe kepibadian menurut masing-masing para ahli agar kita lebih memahami kepribadian peserta didik sehingga saat proses kegiatan belajar dan mengajar berlangsung dengan maksimal.
Menurut Eysenck 1964 (dalam Buchori 1982), menyatakan tipe kepribadian dibagi menjadi tiga, yaitu:
·       Kepribadian Ekstrovert: dicirikan dengan sifat sosiabilitas, bersahabat, menikmati kegembiraan, aktif bicara, impulsif, menyenangkan spontan, ramah, sering ambil bagian dalam aktivitas sosial.
·       Kepribadian Introvert: dicirikan dengan sifat pemalu, suka menyendiri, mempunyai kontrol diri yang baik.
·       Kepribadian Neurosis: dicirikan dengan pencemas, pemurung, tegang, bahkan kadang-kadang disertai dengan simptom fisik seperti keringat, pucat, dan gugup.
Menurut Mahmud 1990 (dalam Suadianto 2009), menyatakan kepribadian terbagi menjadi dua belas kepribadian, yang meliputi kepribadian sebagai berikut:
·       Mudah menyesuaikan diri, baik hati, ramah, hangat VS dingin.
·       Bebas, cerdas, dapat dipercaya VS bodoh, tidak sungguh-sungguh, tidak kreatif.
·       Emosi stabil, realistis, gigih VS emosi mudah berubah, suka menghindar (evasive), neurotik.
·       Dominat, menonjolkan diri VS suka mengalah, menyerah.
·       Riang, tenang, mudah bergaul, banyak bicara VS mudah berkobar, tertekan, menyendiri, sedih.
·       Sensitif, simpatik, lembut hati VS keras hati, kaku, tidak emosional.
·       Berbudaya, estetik VS kasar, tidak berbudaya.
·       Berhati-hati, tahan menderita, bertanggung jawab VS emosional, tergantung, impulsif, tidak bertanggung jawab.
·       Petualang, bebas, baik hati VS hati-hati, pendiam, menarik diri.
·       Penuh energi, tekun, cepat, bersemangat VS pelamun, lamban, malas, mudah lelah.
·       Tenang, toleran VS tidak tenang, mudah tersinggung.
·       Ramah, dapat dipercaya VS curiga, bermusuhan.
Menurut Hippocrates dan Galenus (dalam Kurnia 2007), tipologi kepribadian yang tertuang bersifat jasmaniah atau fisik. Mereka mengembangkan tipologi kepribadian berdasarkan cairan tubuh yang menentukan temperamen seseorang. Tipe kepribadian itu antara lain:
·       Tipe kepribadian choleric (empedu kuning), yang dicirikan dengan pemilikan temperamen cepat marah, mudah tersinggung, dan tidak sabar.
·       Tipe melancholic (empedu hitam), yang berkaitan dengan pemilikan temperamen pemurung, pesimis, mudah sedih dan mudah putus asa.
·       Tipe phlegmatic (lendir), yang bertemperamen yang serba lamban, pasif, malas, dan kadang apatis/ masa bodoh.
·       Tipe sanguinis (darah), yang memiliki temperamen dan sifat periang, aktif, dinamis, dan cekatan.
Menurut Kretchmer dan Sheldon (dalam Kurnia 2007), menyatakan bahwa tipologi kepribadian berdasarkan bentuk tubuh atau bersifat jasmaniah. Macam-macaam kepribadian ini adalah:
·       Tipe asthenicus atau ectomorpic pada orang-orang yang bertubuh tinggi kurus memiliki sifat dan kemampuan berpikir abstrak dan kritis, tetapi suka melamun dan sensitif.
·       Tipe pycknicus atau mesomorphic pada orang yang betubuh gemuk pendek, memiliki sifat periang, suka humor, popular dan mempunyai hubungan sosial luas, banyak teman, dan suka makan.
·       Tipe athleticus atau mesomorphic pada orang yang bertubuh sedang/ atletis memiliki sifat senang pada pekerjaan yang membutukhkan kekuatan fisik, pemberani, agresif, dan mudah menyesuaikan diri.
Namun demikian, dalam kenyataannya lebih banyak manusia dengan tipe campuran (dysplastic).
Menurut Jung (dalam Sudianto 2009), tipologi kepribadian dikelompokan berdasarkan kecenderungan hubungan sosial seseorang, yaitu:
·       Tipe Ekstrovert yang perhatiannya lebih banyak tertuju di luar.
·       Tipe Introvert yang perhatiannya lebih tertuju ke dalam dirinya, dan dikuasai oleh nilai-nilai subjektif.
Tetapi, umumnya manusia mempunyai tipe campuran atau kombinasi antara ekstrovert dan introvert yang disebut ambivert.
Pada periode anak sekolah, kepribadian anak belum terbentuk sepenuhnya seperti orang dewasa. Kepribadian mereka masih dalam proses pengembangan. Wijaya (1988) menyatakan “karakteristik anak secara sederhana dapat dikelompokkan atas:
1.    Kelompok anak yang mudah dan menyenangkan.
2.    Anak yang biasa-biasa saja.
3.    Anak yang sulit dalam penyesuaian diri dan sosial, khususnya dalam melakukan kegiatan pembelajaran di dekolah”.
2.2 Karakteristik Perkembangan
Menurut Kurnia (2007), menjelaskan bahwa karakteristik atau kepribadian seseorang dapat berkembang secara bertahap. Berikut ini adalah krakteristik perkembangan pada masa anak samapai masa puber.
2.2.1 Karakteristik Perkembangan Masa Anak Awal (2-6 tahun)
Masa anak awal berlangsung dari usia 2-6 tahun, yaitu setelah anak meninggalkan masa bayi dan mulai mengikuti pendidikan formal di SD. Tekanan dan harapan sosial untuk mengikuti pendidikan sekolah menyebabkan perubahan perilaku, minat, dan nilai pada diri anak. Pada masa ini, anak sedang dalam proses penegmbangan kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan. Perilaku anak sulit diatur, bandel, keras kepala, dan sering membantah dan melawan orang tua. Hal ini memang sangat menyulitkan para pendidik. Tak heran, apabila para guru Playgroup sampai SD harus lebih bersabar dalam melangsungkan pembelajaran atau mendidik siswa. Disiplin mulai bisa diterapkan pada anak sehingga anak dapat mulai belajar hidup secara tertib. Dan sikap para pedidik sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak.
2.2.2 Karakteristik Perkembangan Masa Anak Akhir (6-12 tahun)
Karakteristik atau ciri-ciri periode masa anak akhir, sama halnya dengan ciri-ciri periode masa anak awal dengan memperhatikan sebutan atau label yang digunakan pendidik. Orang tua atau pendidik menyebut masa anak akhir sebagai masa yang menyulitkan karena pada masa ini anak lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman sebaya daripada oleh orang tuanya. Kebanyakan anak pada masa ini juga kurang memperhatikan dan tidak bertanggung jawab terhadap pakaian dan benda-benda miliknya. Para pendidik memberi sebutan anak usia sekolah dasar, karena pada rentang usia ini (6-12 tahun) anak bersekolah di sekolah dasar. Di sekolah dasar, anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang dianggap penting untuk keberhasilan melanjutkan studi dan penyesuaian diri dalam kehidupannya kelak.
2.2.3 Karakteristik Perkembangan Masa Puber (11/12 – 14/15 tahun)
Masa puber adalah suatu periode tumpang tindih antara masa anak akhir dan masa remaja awal. Periode ini terbagi atas tiga tahap, yaitu tahap: prapuber, puber, dan pascapuber. Tahap prapuber bertumpang tindih dengan dua tahun terakhir masa anak akhir. Tahap puber terjadi pada batas antara periode anak dan remaja, di mana ciri kematangan seksual emakin jelas (haid dan mimpi basah). Tahap pascapuber bertumpang tindih dengan dua tahun pertama masa remaja. Waktu masa puber relatif singkat (2-4 tahun) ini terjadi pertumbuhan dan perubahan yang sangat pesat dan mencolok dalam proporsi tubuh, sehingga menimbulkan keraguan dan perasaan tidak aman pada anak puber. Peubahan fisik dan sikap puber ini berakibat pula pada menurunnya prestasi belajar, permasalahan yang terkait dengan penerimaan konsep diri, serta persoalan dalam berhubungan dengan orang di sekitarnya. Orang dewasa maupun pendidik perlu memahami sikap perilaku anak puber yang kadang menaik diri, emosional, perilaku negative dan lai-lain, serta membantunya agar anak dapat menerima peran seks dalam kehidupan bersosialisasi dengan orang atau masyarakat di sekitarnya.
2.3 Perkembangan Kepribadian
“Kata kepribadian dalam bahasa asing disebut dengan kata personality. Kata ini berasal dari kata latin, yaitupersona yang berarti “topeng” atau seorang individu yang berbicara melalui sebuah topeng yang menyembunyikan identitasnya dan memerankan tokoh lain dalam drama” (Buchori, 1982:91). Sehingga kepribadian seseorang adalah perangsang dari orang tua atau kesan yang ditimbulkan oleh keseluruhan tingkah laku orang lain.
Kepribadian bersifat dinamis (tidak statis), danmelainkan berkembang secara terbuka sehingga manusia senantiasa berada dalam kondisi perubahan dan perkembangan. Kepribadian selalu dalam penyesuaian diri yang unik dengan lingkungannya dan berkembang bersama-sama dengan lingkungannya, serta menentukan jenis penyesuaian yang akan dilakukan anak, karena tiap anak mempunyai pengalaman belajar yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Dalam perkembangan kepribadian, konsep diri dan sifat-sifat seseorang merupakan hal atau komponen penting.“konsep diri merupakan konsep, persepsi, maupun gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri, atau sebagai bayangan dari cermin diri. Konsep diri seseorang dipengaruhi dan ditentukan oleh peran dan hubungannya dengan orang lain terhadap dirinya” (Buchori 1982).
Menurut Suadianto (2009), menerangkan bahwa sifat mempunyai dua ciri yang menonjol, yaitu:
1. Individualistis yang diperlihatkan dalam kuantitas ciri tertentu dan bukan kekhasan ciri bagi orang lain.
2. Konsistensi yang berarti seseorang bersikap dengan cara yang hampir sama dalam situasi dan kondisi yang serupa, konsep diri merupakan inti kepribadian yang mempengaruhi berbagai sifat yang menjadi ciri khas kepribadian seseorang.
Menurut Kurnia (2007) menyatakan bahwa mengenai perkembangan pola kepribadian, ada 3 faktor yang menentukan perkembaangan kepribdian seseorang termasuk peserta didik, yaitu:
a. Faktor bawaan, termasuk sifat-sifat yang diturunkan kepada anaknya, misalnya sifat sabar anak dikarenakan orang tuanya juga memiliki sifat sabar, demikian juga wawasan sosial anak dipengaruhi oleh tingkat kecerdasannya.
b. Pengalaman awal dalam lingkungan keluarga ketika anak masih kecil. Pengalaman itu membentuk konsep diri primer yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak dalam mengadakan penyesuaian diri dan sosial pada perkembangan kepribadian periode selanjutnya.
c. Pengalaman kehidupan selanjutnya dapat memperkuat konsep diri dan dasar kepribadian yang sudah ada, atau karena pengalaman yang sangat kuat sehingga mengubah konsep diri dan sifat-sifat yang sudah terbentuk pada diri seseorang.
Pada perkembangan kepribadian pesera didik, tidak ada kepribadian dan sifat-sifat yang benar-benar sama. Tiap anak adalah individu yang unik  dan mempunyai pengalaman belajar dalam penyesuaian diri dan sosial yang berbeda secara pribadi. Menurut Suadianto (2007) menjelaskan bahwa hal penting dalam perkembangan kepribadian adalah ketetapan dalam pola kepribadian atau persistensi. Artinya, terdapat kecenderungan ciri sifat kepribadian yang menetap dan relatif tidak berubah sehingga mewarnai timbul perilaku khusus terhadap diri seseorang. Persistensi dapat disebabkan oleh kondisi bawaan anak sejak lahir, pendidikan yang ditempuh anak, perilaku orang tua dan lingkungan kelompok teman sebaya, serta peran dan pilihan anak ketika berinteraksi dengan lingkungan sosial.
3.    Pengaruh Kepribadian Terhadap Peserta Didik
Memahami karakter seseorang memang sangat sulit, namun sangat penting. Apalagi kita sebagai pendidik selalu bersama dengan peserta didik yang sangat banyak dan masing-masing mempunyai karakter-karakter tersendiri. Keadaan atau proses beajar dan mengajar tidak dapat berjalan dengan baik apabila kita tidak saling mengenal dengan peserta didik. Saling mengenal tidak harus dengan menghafal nama-nama dari peserta didik, tetapi pendidik harus mengenal kepribadian dari murid-muridnya.
Berdasarkan tipe-tipe kepribadian yang telah tercantum di atas bahwa setiap sifat yang baik pasti ada sifat yang jelek. Ada peserta didik yang diajak berbicaraselalu merespon, ada peserta didik yang periang, ada sifat atau pribadi yang tertutup, ada peserta didik yang kurang menghargai pendidikya dan mengaggap suatu hal biasa. Kita sebagai pedidik, kita harus mengendalikan ego dan menambah kesabaran saat berinteraksi dengan peserta didik untuk mengingatkan bahwa hal tersebut salah, benar, sopan dan lain-lain. Misalnya, anak yang suka bergurau dan menganggap guru adalah teman, saat pendidik melakukan kesalahan dan peserta didik mengejek dengan kata kurang sopan. Apabila kita langsung memarahi dan tidak bisa menahan emosi kita, maka kita akan ditakuti oleh dia dan bisa saja peserta didik tersebut dan yang lain langsung merasa tegang dan akhirnya pada saat peajaran, bukan suasana yng menyenangkan  yang didapat melainkan suasana tegang. Kita sebagai pendidik harus melihat kepribadian siswa tersebut apakah mudah tersingung atau tidak. Bila murid tersebut tidak muah tersinggung, kita bisa mengingatkan kesalahannya dengan cara lelucon. Namun bila dia mudah tersinggung maka kita bisa menegur saat di luar jam pelajaran. Bila suasana yang tercipta adalah tegang maka materi yang diberikan tidak diserap hingga maksimal dan akhirnya prestasi menurun.
4.    Karakter dan Moral
Antara karakter dan moral itu berbeda. Kalau pendidikan moral itu, kita hanya tahu saja. Kita tahu moral, kita tahu etika, namun belum sampai pada perilaku. Karena memang evaluasinya juga; apakah sudah hafal isi buku? Kalau pendidikan karakter, itu mengukir manusia sehingga kelihatan dari perbuatannya, karena karakter dalam bahasa latin berarti mengukir. Jadi begitu manusia berkarakter, itu sudah kelihatan langsung dari sistem pikirannya, bicaranya, sampai pada  perilakunya, dan itu konsisten. Contoh yang paling sederhana, seseorang yang tahu moral sedang berhadapan dengan lampu merah. Bila ia tahu moral, seharusnya dia berhenti. Tapi belum tentu ia melakukan itu kan? Buktinya, ketika ia tahu tidak ada polisi atau sepi, ia main bablas saja. Itu berarti belum berkarakter. Sedangkan orang yang berkarakter, ia akan tetap memegang prinsip, meski tidak ada yang melihat.
Jadi, kenapa kita tahu soal moral baik dan buruk, tapi pada perilakunya tidak tercermin, dan bahkan tidak konsisten antara apa yang dibicarakan dengan yang dilakukan? Itulah akhirnya menjadi pertanyaan-pertanyaan bagaimana dari moral itu menjadi perilaku. Ini tantangan, dan untuk itu kami membangun Indonesia Heritage Foundation, sebuah yayasan warisan nilai-nilai luhur Indonesia, yang mempunyai visi membangun bangsa yang berkarakter.

5.    Mengenali Karakter Peserta Didik
Dalam banyak hal, kita pastinya memerlukan variasi. Sama halnya dengan belajar. Dalam belajar, variasi pembelajaran ini yang bisa membuat, baik pendidik maupun peserta didiknya tidak jenuh. Bahkan, untuk pendidik itu sendiri, selain memiliki variasi metode pembelajaran, meraka juga harus bisa memahami karakter peserta didiknya. Sehingga, metode pembelajarannya bisa tepat guna.
Dari sudut pandang siswa didik, pasti memiliki gaya belajar yang berbeda. Ada yang sangat aktif, ada juga yang hanya duduk diam (pasif) mendengarkan. Untuk itu, pendidik harus memiliki kemampuan untuk mengenali gaya belajar siswa yang umum dan kurang umum. Sehingga, pendidik mampu mengembangkan gaya pengajaran yang komprehensif dan efektif.
Ada beberapa pendekatan, untuk bisa menerapkan gaya pengajaran ini. Salah satunya pendekatan indrawi. Indrawi, merupakan metode belajar yang paling popular. Di sini, pendidik bisa dapat berinteraksi langsung, secara visual, gesture tubuh, juga audio. Sehingga, antara peserta didik dan pendidik, akan dapat terjalin koneksi yang erat. Hasilnya, motorik peserta didik pun dapat meningkat. Pengayaan literatur pendukung pembelajaran sangat diperlukan. Karena, peserta didik dengan karakter ini, akan lebih kritis dalam menanggapi pembelajaran yang ia terima. Jadi, fakta lisan saja, akan kurang memuaskan bagi peserta didik dengan karakter seperti ini.
Intuisi dan analitik. Pendekatan ini, dapat diterapkan pada peserta didik yang kurang aktif, dan lebih suka dalam menganalisa sesuatu. Di sini, pendidik, dituntut untuk bisa masuk ke alam belajar peserta didik secara intuitif. Penggambaran pembelajaran secara abstrak dapat dilakukan oleh peserta didik. Lalu, biarkan mereka melakukan analisa dan mengevaluasi sendiri terhadap pengambaran tersebut dengan fakta-fakta yang bisa mereka dapatkan.
Untuk peserta didik yang aktif, pendidik bisa menerapkan proses belajar belajar sambil melakukan (learning by doing). Bentuk kegiatan pembelajaran eksperimental sangat disukai oleh mereka. Karena dengan demikian, mereka bisa merasakan atau mengalami langsung. Juga bisa mengetahui secara langsung, apakah percobaan mereka bekerja dengan baik atau tidak.
Bagi peserta didik yang berkarakter pasif, pendidik haruslah lebih jeli. Di mana, pendidik dapat memberikan penjelasan secara abstrak. Lalu, biarkan mereka menganalisa hal tersebut. Tugas dari pendidik adalah menjadi koridor, ketika analisa mereka mulai tidak fokus dan melenceng dari pembelajaran.
Memahami perbedaan karakter peserta didik sangatlah penting. Namun lebih penting lagi, pendidik dapat menerapkan metode pembelajaran yang tepat. Untuk itu, dalam hal belajar, tidaklah mengenal usia. Pendidik dan peserta didik, masih sama-sama belajar. Belajar untuk lebih baik lagi.
6.    Dasar Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah

Mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional (SPN). Dalam pasal 3 disebutkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam membentuk sumberdaya manusia berkualitas. Sejak beberapa tahun belakangan, pendidikan karakter telah diintegrasikan ke dalam kurikulum di sekolah. Hal ini mengingat pentingnya pendidikan karakter dalam mebentuk karakter siswa.

            Untuk menjadikan manusia mempunyai karakter yang bagus itu harus dilakukan dengan cara; selain knowing the good, juga harus tahu the risking of the good. Jadi tahu akibatnya. Feeling the goodnya juga, di mana ada rasa empati, bersalah, malu, kecintaan untuk berbuat baik seperti; oh kalau kita berbuat baik, kita merasa lapang dada. Itu feeling the good. Itu harus dibentuk. Kemudian action the good, jadi itu terus-menerus diperjuangkan. Ini metode yang kami lakukan.

Kemudian, pendidikan karakter itu bukan hanya pelajaran. Ini disepakati juga Wamendiknas, Bapak Fasli Jalal. Pendidikan karakter itu bagaimana membangun sebuah lingkungan, membangun budaya sekolah, membangun sebuah komunitas sekolah yang betul-betul mencerminkan perilaku yang berkarakter. Karena itu harus konsisten; gurunya harus berkarakter karena guru menjadi tauladan, juga satpamnya, dan begitu pula OB-nya juga harus berkarakter.

Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang (1) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) sehat, (4) berilmu, (5) cakap, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) menjadi warga negara yang demokratis, dan (9) bertanggung jawab.

Jika dicermati fungsi pendidikan di atas, peserta didik pada umumnya sudah memiliki kemampuan dasar yang di bawa sejak lahir. Pembentukankarakter anak dimulai di lingkungan keluarga. Lembaga sekolah sebagai salah satu pusat pendidikan berfungsi untuk mengembangkan potensi yang sudah dimiliki oleh peserta didik.

Bangsa yang berwatak mulia, cerdas dan bermartabat akan menentukan peradaban bangsa tersebut. Bangsa Indonesia sejak dulunya terkenal bangsa yang taat beragama, ramah, suka bergotong royong, musyawarah untuk mufakat, dan bekerja sama dalam membangun kekuatan ekonomi dalam prinsip keadilan sosial. Berdasarkan filosofi inilah arah dan pengembangan pendidikan karakter di lembaga sekolah.

Memiliki tujuan pendidikan nasional, lembaga sekolah lebih banyak terfokus  pada pengembangan potensi peserta didik yang berkaitan dengan karakter. Ini membuktikan bahwa prosesi pendidikan harus berorientasi pada aspek sikap dan tingkah laku (afektif) sebagaimana amanat pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SPN. Namun dalam implementasinya di lapangan masih berorientasi kepada aspek intelektual (kecerdasan) dan psikomotorik (keterampilan dan kecakapan hidup).

Tidaklah mengherankan jika lulusan lembaga sekolah memiliki nilai akademik yang bagus, keterampilan yang memadai namun sikap dan tingkah laku sebagai cermin karakter positif masih perlu dipertanyakan. Inilah beberapa dasar pengembangan pendidikan karakter di lembaga sekolah.

Ke depannya, pengembangan karakter peserta didik diharapkan menjadi orientasi utama di lembaga sekolah. Artinya, pendidikan karakter tidak hanya sekadar wacana dan konsep yang bagus namun dapat diimplementasikan dalam proses pendidikan di sekolah. Tentunya tidak lepas dari dukungan orang tua siswa dan pihak berkompeten dalam dunia pendidikan.
Ada 3 Cara Mendidik Karakter Anak:
1. Ubah Lingkungannya, melakukan pendidikan karakter dengan cara menata peraturan serta konsekuensi di sekolah dan dirumah.
2. Berikan Pengetahuan, memberikan pengetahuan bagaimana melakukan perilaku yang diharapakan untuk muncul dalam kesehariannya serta diaplikasikan.
3. Kondisikan Emosinya, emosi manusia adalah kendali 88% dalam kehidupan manusia. Jika mampu menyentuh emosinya dan memberikan informasi yang tepat maka informasi tersebut akan menetap dalam hidupnya.
Karakter yang perlu ditumbuhkan dan dibentuk dalam diri anak
1.    Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
2.    Kemandirian dan Tanggung Jawab
3.    Kejujuran atau Amanah, Diplomatis
4.    Hormat dan Santun
5.    Dermawan, Suka Tolong Menolong & Gotong Royong
6.    Percaya Diri dan Pekerja Cerdas
7.    Kepemimpinan dan Keadilan
8.    Baik dan Rendah Hati
9.    Karakter Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan.

7.    Pengembangan Karakter

Pengembangan atau pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah dan stakeholders-nya untuk menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah. Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik (insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri.
Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebajikan (moral).
Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge).
Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility).
Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Pengembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional
Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukan karena dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk mengharagi nilai kejujuran itu sendiri.
Oleh karena itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domain affection atau emosi). Komponen ini dalam pendidikan karakter disebut dengan “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat kebaikan.
Pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good” (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling), dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham.
Dengan demikian jelas bahwa karakter dikembangkan melalui tiga langkah, yakni mengembangkan moral knowing, kemudian moral feeling, dan moral action. Dengan kata lain, makin lengkap komponen moral dimiliki manusia, maka akan makin membentuk karakter yang baik atau unggul/tangguh.
Tahapan Pengembangan Karakter
   Keterkaitan komponen moral dalam pembentukan karakter
Pengembangan karakter sementara ini direalisasikan dalam pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran lainnya, yang program utamanya cenderung pada pengenalan nilai-nilai secara kognitif, dan mendalam sampai ke penghayatan nilai secara afektif.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pengembangan karakter seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Untuk sampai ke praksis, ada satu peristiwa batin yang amat penting yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut Conatio, dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini disebut langkah konatif.
Pendidikan karakter mestinya mengikuti langkah-langkah yang sistematis, dimulai dari pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ki Hajar Dewantoro menterjemahkannya dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.

8.    Membangun Karakter Anak Bangsa (Character Building)

Peningkatan kualitas pendidikan merupakan salah satu focus didalam pembangunan Indonesia dewasa ini. Dalam peningkatan kualitas disekolah/pendidikan harus di imbangi professional guru yang tentunya diikuti kualitas pembelajaran di kelas bekal kepada siswa untuk hidup bermasyarakat dan melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Semua guru memberikan pelayanan terhadap anak didik baik itu berupa lesprivat, tambahan pelajaran, ektra kurikuler semua itu untuk mempersiapkan anak didik yang pandai. Kursus-kursus kilat anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Semua ini untuk mencerdaskan otak anak dan menghitung dengan cepat dan tepat. Pandai berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan ektra kurikuler baik menari, main musik dan berolahraga seperti main sepak bola, berlari, basket dan sebagainya. Banyak orang tua senang karena pendidikan penuh kesan yang menggiurkan orang tua. Guru bangga melihat anak didiknya pandai segala hal.
Tapi orang tua dan guru sekarang kalang kabut melihat anak-anaknya yang pandai tapi tidak diikuti akhlakkul kharimah (tingkah laku yang baik), dimana banyak anak yang hilang kendali seperti perkelahian antar teman / tawarun antar pelajar, tidak disiplin, tidak tanggungjawab dan ketidakjujuran. Semua ini seakan-akan menjadi ngetren dikalangan anak didik kita. Bagaimana anak kita sudah tidak memiliki karakter yang baik ? jadi apa Bangsa dan Negara ini ? kalau generasi muda/anak didik kita sudah jauh dari norma-norma yang berlaku baik tertulis maupun tidak tertulis. Apa yang terjadi kalau menjadi pejabat tidak mempunyai karakter yang baik. Apakah akan berhasil membangun bangsa yang maju, bermartabat dan berwibawa?

Ini semua tugas guru untuk mendidik anak didik kita dengan pendidikan yang berkualitas yaitu mampu mencerdaskan anak didik kita dengan membangun karakter anak ( Character Building ). Jadi guru untuk merencanakan pelaksanaan pembelajaran guru juga memasukkan/membiasakan anak didik kita dengan Character building artinya anak kita dibiasakan / dilatih bertanggungjawab, disiplin, kejujuran, dalam kelas maupun dirumah serta dimasyarakat agar menjadi pembiasaan. Selain pelajaran akademik anak dilatih bertanggung jawab menjaga kelas, piket, mengerjakan tugas, jujur mengerjakan tugas sendiri, disiplin datang lebih awal, mengerjakan tugas tepat waktu, tepat mengembalikan buku, serta guru memberi suatu tugas menjelaskan tentang tanggung jawab, kejujuran maupun disiplin agar anak apa yang dikerjakan bermakna dan mengerti maksudnya serta menjadikan pembiasaan dalam kehidupannya baik disekolah, dirumah serta di masyarakat.

Guru dalam melaksanakan pembelajaran harus merancang /skanarionya harus menyisipkan/menambah kan pembelajaran Character building/membangun karakter anak dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan guru dalam memberi tugas kepada didik kita, guru menjelaskan makna dan maksudnya agar anak terbangun karakternya dan dijadikan pembiasaan dalam kehidupan sehari-harinya. Jadilah anak didik kita yang pandai dan berakhlak mulia, jujur, disiplin, dan tanggung jawab yang akan dibawa sampai dewasa serta menemukan jati dirinya. Dengan pendidikan Character Building anak didik kita menjadi generasi yang tangguh, cerdas, yang bermartabat, cekatan, cakap, ulet, tegas, mandiri, multi cultural, disiplin, tanggungjawab, jujur membangun bangsa yang maju bermartabat, dan berwibawa,.

9.    Pendidikan Karakter yang Sukses

Pendidikan karakter ini merupakan good will Pemerintah. Kalau mau berhasil, ini harus total. Seperti model pendidikan di Finlandia, itu benar-benar membangun karakter. Saya sudah pernah ke sana, dan melihat bahwa belajar itu tidak hanya duduk di kelas. Tapi ada project based. Semua concrete learning. Misalkan berhitung, itu menggunakan permainan. Jadi pendidikan karakter itu betul-betul bagaimana kurikulum dan cara mengajarnya bisa membangkitkan semangat anak didik.

Yang dikuatirkan ketika anak didik berada di luar sekolah. Misalkan pendidikan karakter di dalam sekolah itu berjalan cukup sukses. Tapi ketika mereka berinteraksi dengan masyarakat, kan mereka mendapatkan begitu banyak pengaruh. Lha, ini bagaimana?
Kalau kami prinsipnya begini, pendidikan karakter itu memberikan vaksinasi kepada anak didik. Kita tidak bisa membuat lingkungan itu steril. Tapi kalau dalam diri anak itu kuat, mudah-mudahan mereka tidak terpengaruh.

Di sini, pendidikan karakter diterapkan secara holistik; menyenangkan, penuh cinta, dan ada ikatan batin antara anak didik dengan guru, sehingga anak didik tidak mau menyalahi aturan. Jadi bagaimana membuat nilai-nilai pendidikan karakter itu terinternalisasi dalam diri anak didik. Itu yang akan menjadi imunisasi dalam diri anak didik, sehingga tidak mudah terpengaruh.

Misalkan, anak saya yang saat itu masih kelas 4 SD sedang menonton sinetron. Dalam sinetron itu ada adegan bentak-bentakan. Melihatnya, anak saya langsung memindahkan channelnya. “Ngapain sih kok bentak-bentakan?” kata anak saya. Nah, ini merupakan hasil imunisasi pendidikan karakter pada anak didik. Dia tidak terpengaruh. Dia malah kasih komentar, sinetron itu kok norak banget sih? Jadi dia sudah bisa menilai bahwa adegan bentak-bentakan dalam sinetron itu tidak baik.

Selain itu, pendidikan karakter juga menjadikan anak didik memiliki sikap kritis. Karena anak yang berkarakter itu bisa menilai; hal ini bagus buat saya atau tidak? Untuk menjadikan anak didik kritis, diberikanlah cara belajar yang memberi kesempatakan mereka banyak bicara. Jadi guru itu hanya fasilitator saja.

10.    Pentingnya Guru Sekolah Dasar dalam Membentuk Karakter Anak Didik


Dewasa ini, karakter sangat jarang ditemukan pada masyarakat Indonesia, terutama pada anak didik. Karakter merupakan suatu ciri khas yang menunjukkan sifat dari suatu anak didik untuk hidup dan bekerja sama, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Potensi karakter yang baik sebenarnya telah dimiliki oleh setiap anak didik sejal ia lahir, akan tetapi potensi tersebut harus terus menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sjak anak berusia dini. Namun saat ini, banyak anak didik yang tidak mempunyai karakter/akhlak yang baik. Hal ini disebabkan karena perubahan masyarakat ke arah modernisasi dan perkembangan teknologi yang semakin maju. Setiap anak didik pasti memiliki karakter yang berbeda-beda. Dalam hal ini, peran guru terutama guru SD sangatlah berpengaruh terhadap pembangunan karakter anak didik.

Di era globalisasi ini, hampir dari semua anak didik lupa akan jati dirinya. Kemajuan teknologi bukan membuat anak menjadi lebih baik ,tetapinantinya  akan menjerumuskan anak ke perbuatan yang negatif. Kenapa hal itu bisa terjadi ??? Nah, mungkin itu pertanyaan yang selalu ditanyakan saat ini. Kebanyakan para guru menganggap anak didik itu sebagai obyek bukan sebagai subyek. Anak didik selalu ‘diperbudak’ oleh gurunya. Tindakan tersebut tidaklah menjadikan anak menjadi baik, namun sebaliknya anak menjadi kurang aktif dan tidak mandiri. Anak selalu merasa tertekan dengan keadaan tersebut. Apabila tindakan tersebut terjadi di SD, maka nantinya anak akan menjadi ketakutan pada saat kondisi tertentu. Selain itu, anak menjadi tidak bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

Menjadi guru SD tidaklah semudah yang kita bayangkan. Guru SD merupakan pondasi terciptanya karakter dari setiap anak didik. Karena di SD-lah anak pertama kali mengenal yang namanya pendidikan. Menjadi guru SD, kita harus bisa membaca situasi dan kondisi setiap anak didik. Jangan sekali-kali memarahinya, karena tindakan tersebut akan membuat anak didik menjadi ‘down’ dan merasa ketakutan. Pada saat mengajar, guru SD harus kreatif dan inovatif dalam mencairkan suasana, agar anak didik merasa senang, nyaman dan tidak merasa bosan. Selain itu, juga harus diselipkan dengan nilai-nilai pancasila secara sederhana mungkin. Namun, juga dapat dipahami oleh setiap anak didik. Karena, nilai-nilai pancasila itu sangat penting dan harus diamalkan oleh setiap anak didik. Agar nantinya, anak didik mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi dan bisa membawa nama baik bangsa ini.

Guru SD merupakan tugas yang sangat mulia. Akan tetapi, guru SD bukanlah sembarang pekerjaan yang mudah. Seorang guru SD harus memiliki kelebihan, baik itu kepribadian, akhlak yang baik, spiritual, pengetahuan dan juga keterampilan.Selain itu, guru juga harus mempunyai sikap profesionalisme tinggi.  Peran guru bukan hanya sekedar memberikan pelajaran setiap harinya. Namun, seorang guru juga harus memiliki andil dalam membentuk karakter setiap anak didik. Dewasa ini, guru menjadi orang tua kedua saat berada di sekolah. Guru merupakan model bagi anak didiknya. Anak didik selalu menganggap gurunya itu sebagai dewanya mereka. Mereka selalu patuh apabilla diperintah oleh gurunya.
Namun sebaliknya, apabila mereka diperintah oleh orang tuanya tidak mau mealakukannya. Itulah keadaan yang terjadi sekarang ini. Karenanya, orang tua menyerahkan semuanya ke tangan guru. Oleh sebab itu, guru SD mempunyai beban yang sangat tinggi yaitu harus membenahi karakter anak didik.Guru SD diharapkan bisa mengembalikan peradaban bangsa yang selama ini telah tergantikan dengan julukan bangsa yang korup, anarkis, dll.

Sebagai orang yang profesional, guru SD harus memiliki cara agar anak didiknya dapat berhasil membentuk karakternya. Seorang guru SD harus memberikan kasih sayang yang tinggi, agar anak didik merasa betah saat berada di sekolah. Seorang guru juga harus mengajarkan akhlak yang baik pada anak didiknya. Selain itu juga harus memberikan nasehat kepada anak didiknya apabila melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Seorang guru SD harus sabar dan telaten dalam tingkah laku menghadapi anak didiknya.

Dalam membangun karakter anak didik, seorang guru SD tidak hanya sekedar mengajarkan proses penalaran nilai-nilai moral saja, akan tetapi harus lebih diarahkan pada sosialisasinya, agar kelak bisa bertindak sesuai norma-norma yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, guru SD juga harus mengajarkan kedisiplinan tinggi dan menghargai orang lain. Anak didik yang terdidik akan bertindak sesuai dengan iklim dan budaya masyarakat.

Guru SD merupakan satu pilar penentu keberhasilan pendidikan karakter. Kegagalan  guru dalam membentuk karakter setiap anak didik, disebabkan karena guru tidak mampu untuk memperlihatkan dan menunjukkan karakter yang patut didengar maupun dicontoh oleh anak didik. Jika karakter anak didik telah terbentuk sejak usia dini, maka generasi yang akan datang akan menjadi generasi yang adil, jujur, dan bertanggung jawab.
11.Pelatihan Pengembangan Karakter
            Kita semua adalah pendidik karakter, tidak menjadi masalah apakah kita guru, arsitek, sopir bis, kita semua membantu dan berperan dalam membentuk karakter anak-anak yang kita temui. Dari cara kita berbicara, perilaku yang kita contohkan, tingkah laku yang kita coba terima/maklumi, perbuatan yang kita anjurkan, pengharapan yang kita tunjukkan. Benar, baik di saat seperti apapun, kita telah melakukan pendidikan karakter. Pertanyaan besarnya pendidikan karakter seperti apa yang telah kita berikan. Dan nilai-nilai seperti apa yang telah kita ajarkan? Bukti di lapangan menunjukkan bahwa dunia saat ini membutuhkan individu-individu yang cerdas dengan karakter yang baik serta kuat, dan bukan sekedar pandai dengan prestasi/nilai sekolah yang baik. Dalam aplikasinya dunia kerja hanya membutuhkan 20 persen skill, dimana selebihnya 80 persen adalah soft skill yang didapat dalam pendidikan karakter. Karakter perlu dengan sengaja dibangun, dibentuk, ditempa, dan dikembangkan serta dimantapkan untuk memastikan bahwa kita mengalami perkembangan karakter yang terus maju dan positif, sebagai individu kita harus mengenali kesalahan-kesalahan dan kegagalan kita, seperti juga kita harus menyadari kekuatan-kekuatan dan kemajuan yang kita alami dalam mewujudkan kualitas kehidupan yang baik yang semuanya harus dilakukan sejak dini.
            Benar bahwa sebagian dari karakter yang kita miliki kita tangkap dan serap dari contoh positif dan pengalaman dari perlakuan yang kita dapat dengan cinta dan penghargaan. Namun lebih dari itu, pengembangan karakter yang kita miliki adalah persoalan kesadaran, usaha, dan kadang melibatkan sebuah perjuangan tersendiri. Kita tidak menjadi lebih bijak, lebih sabar, lebih memliki kedisiplinan diri, lebih jujur, lebih berani, lebih pemaaf, dan menjadi seseorang yang lebih rendah hati, secara otomatis lita melakukannya secara sengaja dan dengan kerja keras agar menjadi yang seperti itu. Sering dirasakan bahwa program pendidikan karakter cukup berhasil pada tingkat dasar, namun bagi sekolah menengah dan sekolah atas merupakan tantangan tersendiri.
            Anak-anak pada tingkat ini akan menolak pendidikan karakter jika pendidikan ini membuat mereka merasa menjadi obyek yang dikenai perlakuan oleh orang-orang dewasa di sekitar mereka. Kunci penggerak bagi remaja adalah membuat mereka termotivasi sendiri oleh kesadaran dan kemauan mereka. Itulah alasannya mengapa penting membantu mereka mengembangkan karakternya. Orang tua hanya dapat memberikan nasehat yang baik atau menempatkan anak-anaknya pada jalur yang tepat. Selebihnya keberhasilan pembentukan karakter seseorang terletak di tangan masing-masing individu.
            Program ini menyediakan pemberian materi dan pelatihan ke arah pengenalan diri dalam rangka pembentukan dan pengembangan karakter positif. Dikemas dengan metode dan cara penyampaian yang menarik serta disesuaikan dengan pembawaan dan taraf perkembangan remaja. Dalam pelatihan ini remaja akan mendapatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya karakter serta cara dan langkah untuk mengembangkan karakter mereka. Materi dan metode yang diberikan akan mengantar mereka menjadi individu-individu yang berkarakter kuat dan handal. Setelah mengikuti pelatihan ini remaja akan memahami pengetahuan tentang pentingnya karakter positif dan kuat dalam kehidupan nyata. Mereka akan termotivasi untuk mengembangkan karakter positif dalam diri mereka. Ini semua dengan keyakinan bahwa hanya dengan karakter yang kuat dan positif kesuksesan akan dapat mereka raih. Karena materi pengembangan karakter dalam pekatihan ini berpijak pada pengenalan diri dan penerimaan diri yang pisitif, setelah mengikuti pelatihan ini remaja akan memiliki pengetahuan untuk mengenal diri pribadinya, untuk memahami, dan menerima dirinya dengan baik, serta mengembangkan persepsi diri yang positif pula. Sehingga mereka akan mengetahui apa yang mereka mau dan apa yang mereka butuhkan, dan lebih termotivasi untuk mewujudkan apa yang menjadi keinginan dan cita-cita mereka. Karakter adalah dasar dari semua sudut sikap dan perilaku. Oleh karenanya materi dalam pelatihan ini dapat dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan terkini anak dan remaja.
            Sesi khusus bagi orang tua yaitu tidak ada sekolah atau pendidikan khusus untuk orang tua, padahal tantangan untuk mendidik dan membimbing anak-anak. Orang tua memiliki banyak pertanyaan di benak meraka, apa yang harus dilakukan dan bagaimana sebaiknya cara memperlakukan dan membimbing anak-anaknya. Hal ini disebabkan karena dua hal utama, yaitu yang pertama kurangnya pengetahuan yang dimiliki dan sedemikian pesatnya perkembangan yang dialami anak-anak saat ini. Ditambah dengan kenyataan bahwa orang tua memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan dan pengembangan karakter anak, program pelatihan inimemberikan sesi khusus bagi orang tua.

12.Peran Guru Dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik Melalui Kearifan Lokal

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Peribahasa ini menggambarkan pengaruh perilaku guru terhadap perilaku muridnya. Pendidikan di tingkat prasekolah dan tingkat dasar, perilaku guru merupakan model bagi murid dalam berperilaku baik di dalam maupun di luar kelas. Ucapan dan perintah guru sangat dipatuhi oleh murid-muridnya. Bahkan sering terjadi bahwa ucapan dan perintah guru yang didengar anak di sekolah lebih dipatuhi oleh anak daripada ucapan dan perintah orang tuanya. Perilaku guru di masyarakat dijadikan ukuran keterlaksanaan budaya bagi anggota masyarakatnya..Kelestarian budaya local masyarakat menjadi tanggung jawab anggota masyarakatnya. Sedang guru menjadi barometernya. Guru yang melaksanakan tugas di luar daerah kelahirannya, dituntut untuk mengenal budaya masyarakat di mana ia melaksanakan tugasnya. Untuk dapat melaksanakan dan melestarikan budaya masyarakat barunya, guru harus mengenalnya dengan baik. Pembentukan karakter anak didik merupakan tugas bersama dari orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Ketiga pihak tersebut secara bersama-sama atau simultan melaksanakan tugas membentuk karakter anak didik. Guru merupakan pihak dari pemerintah yang bertugas membentuk karakter anak didik, terutama selama proses pendidikan di sekolah. Kemudian orang tua sekaligus sebagai anggota masyarakat memiliki waktu yang lebih banyak dalam membina karakter anaknya. Keberhasilan pembentukan karakter anak didik di sekolah, apabila murid dan guru berasal dari budaya lokal yang sama. Guru yang mengenal lebih dalam budaya lokal anak didiknya akan lebih lancar dan lebih berhasil dalam pemebentukan karakter anak didiknya dibandingkan dengan guru yang kurang mengenal atau kurang memahami budaya lokal anak didiknya. Merupakan tugas dan tantangan besar bagi guru yang ditugaskan di masyarakat yang budayanya berbeda dengan budaya guru yang bersangkutan.

13. Menjadikan Guru Konsisten

Ada sebuah sistem. Pertama, mempunyai metode training untuk mengajarkan bagaimana guru itu merubah perilakunya. Kedua, untuk menjadikan guru yang berkarakter, itu harus ada acuannya. Dan acuan itu harus ada kurikulumnya, ada modulnya, agar guru menerapkannya. Dengan menerapkannya, guru akan terinspirasi juga untuk merubah dirinya.

Ada sembilan pilar karakter, yaitu; 1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya; 2) Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian; 3) Kejujuran/amanah dan diplomatis; 4) Hormat dan santun; 5) Dermawan, suka menolong, dan gotong royong/kerjasama; 6) Percaya diri, kreatif, dan pekerja keras; 7) Kepemimpinan dan keadilan; 8) Baik dan rendah hati; dan 9) Toleransi, kedamaian dan persatuan.
Dari sembilan pilar karakter itu, kami membuat tools (alat-alat peraga atau instrumen, red). Jadi semua harus ada toolsnya. Ketika guru menggunakan tools dan dia menerapkannya, maka dengan sendirinya guru itu berubah juga. Itu yang kami amati. Tapi kalau hanya latihan tidak ada toolsnya, karakternya itu tidak akan bisa terbentuk.

Ketiga, kalau tidak ada semangat menjadi guru yang berkarakter dan bertaulaudan, ini juga tidak bisa. Dan cara mengajarnya juga tidak boleh menggunakan kekerasan dan hukuman. Karena untuk menjadikan anak yang berakarakter, itu harus menggunakan emosi yang positif dan lingkungan yang positif. Emosi positif ini penting agar anak didik tidak merasa terbebani. Ini tidak gampang. Kami sudah 11 tahun membangun dan melaksanakan ini, dan tidak mudah.

Jadi, guru harus berubah, guru harus jadi teladan, guru ngajarnya harus menyenangkan dan penuh cinta. Kemudian kurikulumnya, kalau kurikulum terlalu berat, ini bisa gagal. Kemudian, bagaimana di setiap mata pelajaran itu diselipkan pendidikan karakter. Makanya kita juga punya yang disebut character based integrated learning. Ini juga supaya memberikan inspirasi pada soal-soal lain. Jadi memang tidak mudah.

Selanjutnya, harus dilakukan secara holistik. Di sini, kami membangun anak didik tidak hanya dari sisi akademik, tapi juga spiritual, emosi, kreatifitas, daya kritis, dan sebagainya. Manusia yang berkarakter, itu yang seluruh dimensinya bisa berkembang dengan utuh dan seimbang. Jadi memang sangat complicated.

Menjadikan guru-guru bisa mengajar dengan cinta memang tidak mudah. Selain membuka wawasan, kami juga menerapkan pelatihan kepada guru hingga mereka menangis, hingga mereka merasa bersalah bahwa selama ini yang mereka lakukan kurang benar dan ada yang perlu diperbaiki. Karena kalau tanpa insaf terlebih dahulu, pendidikan karakter susah dilaksanakan. Kalau guru masih membentak saat mengajar misalkan, hati anak didik itu bisa mengkerut. Dan anak didik yang hatinya mengkerut, pasti susah mendapatkan masukan-masukan. Jadi, bagaimana menumbuhkan obor semangat dalam diri anak didik.

Anak didik di sini, ketika dia salah, itu tidak langsung dimarahin. Tapi ada konsekuensi, dan ia diminta pertanggungjawaban. Sehingga anak didik bisa merefleksikan kesalahannya, dan ia sadar bahwa misalkan; oh, ternyata saya sedang dikuasai otak reptil, dan karena itu saya minta maaf. Jadi, ini merupakan sesuatu yang menarik, menantang, dan full feeling. Ada kebahagiaan batin selama mendidik. Dan kami terbuka untuk observasi. Jadi siapa pun yang mau datang ke sini untuk observasi, maka dipersilahkan.
3 program pendidikan karakter yang menjadi fokus dari kurikulum, yaitu :

1. Training Guru

Terkait dengan program pendidikan karakter disekolah, bagaimana menjalankan dan melaksanakan pendidikan karakter disekolah, serta bagaimana cara menyusun program dan melaksanakannya, dari gagasan ke tindakan. Program ini membekali dan memberikan wawasan pada guru tentang psikologi anak, cara mendidik anak dengan memahami mekanisme pikiran anak dan 3 faktor kunci untuk menciptakan anak sukses, serta kiat praktis dalam memahami dan mengatasi anak yang “bermasalah” dengan perilakunya.

2. Program Kurikulum Pendidikan Karakter

Kami memberikan sistem pengajaran dan materi yang lengkap (untuk 1 tahun ajaran) serta detail dan aplikasi untuk sekolah dan materi untuk orang tua murid. Materi ini telah diuji coba lebih dari 5 tahun, disamping itu dalam program ini ada pendampingan dan training khusus untuk guru.
Training khusus guru ini dikhususkan untuk menciptakan suksesnya pendidikan karakter disekolah, disamping pemberian materi yang “advance” dari program training guru pertama. Karena disini para guru akan mempelajari aspek psikologi manusia (bukan hanya anak, tetapi untuk dirinya sendiri) dan menanamkan nilai-nilai kehidupan yang baik pada dirinya, murid dan keluarga. Guru akan memiliki “tools” untuk membantu menciptakan anak yang berkarakter lebih baik.

3. Program Bimbingan Mental

Program ini terbagi menjadi dua sesi program :
Sesi Workshop Therapy, yang dirancang khusus untuk siswa usia 12 -18 tahun. Workshop ini bertujuan mengubah serta membimbing mental anak usia remaja. Workshop ini bekerja sebagai “mesin perubahan instant” maksudnya setelah mengikuti program ini anak didik akan berubah seketika menjadi anak yang lebih positif.
Sesi Seminar Khusus Orangtua Siswa, membantu orangtua mengenali anaknya dan memperlakukan anak dengan lebih baik, agar anak lebih sukses dalam kehidupannya. Dalam seminar ini orangtua akan mempelajari pengetahuan dasar yang sangat bagus untuk mempelajari berbagai teori psikologi anak dan keluarga. Memahami konsep menangani anak di rumah dan di sekolah, serta lebih mudah mengerti dan memahami jalan pikiran anak, pasangan dan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar