Nama : Wiwin Nur Indah Sari
NPM : 130401080001
Kelas : 2013 A
MK : Pendidikan Multikultural
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF MULTIKULTURAL
A. Pendahuluan
Keragaman yang
dimiliki Indonesia sebagai suatu bangsa sungguh tidak pantas kita sia-siakan.
Keragaman itu kehendak Allah sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al Hujurat
sebagaimana dikutip di atas. Keragaman itu merupakan sebuah anugerah dari Allah
SWT yang tak terperikan nilainya. Keragaman yang
ada di Indonesia—ibarat sebuah taman yang ditumbuhi
beraneka bunga nan indah menawan—perlu kita syukuri. Kesyukuran itu akan
membimbing kita untuk mampu menikmati dan memaknai anugerah itu.
Dalam taman
raksasa (baca: Indonesia) itu bertumbuh beribu-ribu jenis tanaman dengan segala
varietas dan keunikannya. Tak satupun dari varietas itu yang bisa kita abaikan
manakala kita tidak menginginkan berkurangnya keindahan taman itu. Penggambaran
keindahan sebuah taman belumlah cukup tatkala kita baru menggambarkan satu atau
beberapa sudut dari taman nan luas itu. Kita tidak akan dan tidak pernah mampu
menangkap dan merasakan keindahan jati taman tersebut jika tidak ada kesediaan
dari kita untuk menemukan dan mengakrabi kekayarayaan hayati yang dimilikinya.
Pesona dan keindahan taman tercermin dari totalitas kandungannya.
Benarkah ketika
kita telah menjelajah luasnya taman, penemuan makna dapat kita rengkuh? Bisa
jadi kita akan tetap tidak mampu menangkap dan memaknai keindahan itu,
manakala kita menempatkan dan memandang
keindahan itu dari sudut lahiriah semata. Dari sudut pandang ini semua bersifat
nisbi. Parameter keindahan yang dimiliki orang berbeda-beda. Betapa banyak
orang terkesima dengan indahnya bunga anggrek dan karena itu pula mereka
memandangi lekat-lekat dengan perasaan takjub setiap tekstur yang dimilikinya.
Namun bagi sebagian orang, keberadaan anggrek dianggapnya sebagai hal biasa dan
sama sekali tidak memiliki daya undang. Bagi orang ini, aneka kaktus—yang bagi
sebagian orang merasa takut ketika melihatnya—justru lebih menarik.
Pendeskripsian sebuah taman dengan eneka
kandungan hayati yang ada di dalamnya sebagaimana diuraikan di atas sudah
barang pasti tidaklah cukup sebagai analogi terhadap keberagaman ke-Indonesia-an
kita. Indonesia sebagai negara multikultural memiliki keragaman yang luar
biasa. Penduduk Indonesia—yang berjumlah lebih dari 220 juta—terdiri atas 300
suku memiliki dan menggunakan lebih dari 750 bahasa. Mereka juga menganut agama
dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha,
Hindu, Konghucu, dan pelbagai aliran kepercayaan.
Keberagaman itu
hampir takterperikan manakala kita juga
melihat dari pandangan mereka terhadap pelbagai fenomena sosial-budaya,
ekonomi, politik, dan berbagai fenomena lainnya. Pandangan yang bisa jadi
sangat beragam itu—tentang kesetaraan, keadilan, demokratisasi, kebebasan,
kerukunan, kesetiakawanan, hak azasi—bukan
saja disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosio-kultural, tetapi juga
tingkat pendidikan dan pengalaman hidup mereka di masyarakat. Sungguh semua itu
memberi gambaran nyata tentang keberagaman Indonesia.
Dalam tulisan
saya (Sarwiji Suwandi, 2006, 2008) telah saya kemukakan bahwa keanekaragaman
etnik, bahasa, kebudayaan, dan agama yang kita miliki bisa diibaratkan pisau
bermata dua. Keanekaragaman itu, di satu sisi,
merupakan khazanah yang pantas disyukuri dan dipelihara karena jika bisa
dikelola dengan baik akan dapat memunculkan berbagai inspirasi dan kekuatan
dalam upaya pembangunan bangsa. Keanekaragaman
itu pula akan mampu mendinamisasikan kita sebagai sebuah bangsa. Di sisi lain,
keaneragaman itu sering menjadi faktor pemicu terjadinya friksi atau konflik.
Potensi konflik tersebut telah diingatkan oleh John Naisbitt dan Alfin
Toffler, Futurolog terkemuka, yang memprediksi tentang menguatnya kesadaran
etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Demikian
pula yang dikemukakan Samuel Huntington (1997), seorang futurolog yang pertama
kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antarmasyarakat "di masa
depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash
of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang
dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya.
Di Indonesia,
terutama setelah reformasi, konflik di masyarakat merupakan fenomena yang
sering kita saksikan. Gesekan antarelemen—yang terkadang bersifat individual
atau personal dan menyangkut hal-hal ”kecil”—di masyarakat sering memicu
terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan massif. Kekerasan atau kerusuhan itu
sering mengakibatkan rakyat yang tidak berdosa harus menderita. Kerusuhan
Situbondo (1997); Jakarta, Solo (1998); Ambon (1999/2000), Kalimantan (2004),
dan Poso merupakan sedikit contoh tindak kekerasan yang mengoyak sendi-sendi
kerukunan, keramahtamahan dan kesantunan, dan pilar religiusitas yang kita
miliki.
Sehubungan
dengan itu, perlu dicari strategi yang efektif dalam memecahkan persoalan tersebut
melalui berbagai bidang; sosial, politik, budaya, ekonomi dan tentu pendidikan.
Pendidikan multikultural, menurut Yaqin (2005: 4-5), menawarkan satu alternatif
melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan
keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti
keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur,
dan ras. Strategi pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar siswa mudah
memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan
kesadaran agar mereka selalu berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis.
Pendidikan yang mampu menghasilkan generasi yang memiliki sikap toleransi
terhadap perbedaan.
Pendidikan dan
pembelajaran bahasa Indonesia dalam perspektif multikultual merupakan salah
satu solusi bagi sejumlah masalah yang muncul akibat karagaman yang kita
miliki. Oleh karena itu, pemikiran dan partisipasi berbagai pihak pemangku
kepentingan pendidikan, khususnya pendidikan bahasa Indonesia, dalam mendesain
dan mengimplementasikan pendidikan yang berperspektif multikultural sangat
diperlukan. Hubungan sinergis serta kerja kolaboratif antara pengambil
kebijakan, pengembang kurikulum, penulis buku atau bahan pelajaran, guru,
kepala sekolah, pengawas, dan sebagainya sangat diperlukan bagi terwujudnya
generasi yang menghargai nilai-nilai multikultural.
Berkenaan
dengan permasalahan di atas, dalam makalah ini lebih lanjut akan diuraikan (1)
ideologi multikulturalisme, (2) pendidikan dalam perspektif multikultural, dan (3) upaya mewujudkan
pembelajaran bahasa Indonesia berperspektif multikultural.
B. Ideologi Multikulturalisme
Multikulturalisme
merupakan acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural.
Menurut Watson, sebagaimana dikutip Parsudi Suparlan (2002), multikulturalisme
merupakan sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model
multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa
seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku
umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di
dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang
lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang
mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut. Model
multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para
pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan
bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang
berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak
kebudayaan di daerah".
Walaupun
multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk
mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, menurut Parsudi Suparlan (2002)
pada umumnya orang Indonesia masa kini memandang multikulturalisme sebagai
sebuah konsep asing. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan
dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa
yang menjadi ciri masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Jika demikian,
upaya membangun pemahaman tentang multikulturalisme dalam upaya mewujudkan
masyarakat multikultural menjadi sebuah kebutuhan. Memperbicangkan
multikulturalisme menuntut kita untuk memperbincangkan berbagai permasalahan
yang gayut dengan ideologi tersebut, seperti politik dan demokrasi,
perlindungan Hak Asasi Manusia, penegakan hukum dan keadilan, ekonomi serta
kesempatan bekerja dan berusaha, kesadaran sosial, penegakan etika dan moral, dan hak budaya komunitas. Oleh karena
itu, upaya mewujudkan masyarakat multikultural menuntut partisipasi berbagai
elemen masyarakat dan bangsa.
Permasalahan
yang kita hadapi dalam upaya menuju dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang
multikultural sangat kompleks. Sehubungan dengan itu, saran antropolog
Indonesia, Parsudi Suparlan (2002), sangat relevan. Menurutnya, ada baiknya
jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan masyarakat
mulitikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat
menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu
ekonomi dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan
ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara
bersama-sama melihat, mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan
model-model penerapan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia,
menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing. Dengan
demikian, secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan
pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju masyarakat Indonesia
yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil
dilaksanakan.
C. Pendidikan dalam Perspektif Multikultural
Banyak pakar
memberikan takrif yang berbeda-beda tentang pendidikan multikultural. Pendapat
sejumlah ahli tersebut dikemukakan Mendelsohn dan Baker (2002) berikut ini.
Menurut Orstein dan Levine (dalam Mendelsohn dan Baker (2002), pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang memfokuskan pada penyediaan kesempatan
yang setara untuk siswa yang pola-pola kultural dan atau bahasanya membuatnya
sulit untuk bisa berhasil pada program-program sekolah tradisional. Banyak
program multikultural juga menekankan sikap dan hubungan antarkelompok dan ras
yang positif. Meskipun begitu, tidak bisa disimpulkan bahwa multikulturalisme
hanya dimaksudkan untuk meningkatkan citra diri (self-image) dan meningkatkan
pembelajaran para siswa minoritas. Di antara tujuan-tujuan utama pendidikan
multikultural adalah untuk meyakinkan bahwa masing-masing kelompok siswa mendapatkan pengetahuan dan apresiasi
terhadap kelompok ras dan etnik lain.
Kriteria
Departemen Pendidikan Iowa untuk pendidikan multikultural, sebagaimana
dijelakan oleh Thompson (dalam Mendelsohn dan Baker, 2002), memandatkan bahwa
siswa harus bisa memahami diri mereka sendiri dan orang lain sebagai mahluk
kultural, mengenali perbedaan domestik dan global, memahami pengaruh keanggotaan
suatu golongan dan dinamika diskriminasi.
Sementara
itu, menurut Nieto (2002), pendidikan
multikultural sebagai sebuah proses reformasi sekolah yang komprehensif dan
pendidikan dasar untuk semua yang dicirikan oleh tujuh sifat dasar, yaitu
pendidikan anti rasis, pendidikan dasar, penting untuk semua siswa, merembes
melalui kurikulum, pendidikan untuk keadilan sosial, sebuah proses, dan
pedagogi kritis. Nieto menandaskan bahwa
semua anak memerlukan pendidikan multikultural agar mereka siap berpartisipasi
dalam dunia yang beragam tempat mereka menjadi warga negara.
Hal penting
yang perlu diketahui adalah bahwa pendidikan multikultural tidak selalu
merupakan pendekatan yang bisa diterima secara universal. Sementara ada ruang yang melarang presentasi yang menggebu-gebu dari para pengkritiknya. Menurut Banks (dalam
Mendelsohn dan Baker, 2002), salah seorang pengkritik menilai bahwa pendidikan
multikulturalisme telah “dibayang-bayangi oleh debat pahit yang telah meningkatkan
ketegangan etnis dan ras”.
Berdasarkan
batasan-batasan tersebut dapat dikemukakan sejumlah unsur penting yang ditekankan dalam pendidikan
multikultural. Unsur-unsur itu adalah (1) pengenalan perbedaan domestik dan global; (2) pemberian kesempatan yang setara untuk semua
siswa; (3) penekanan pada sikap dan interaksi positif antarkelompok dan ras;
(4) pemerolehan pengetahuan dan apresiasi antarkelompok ras dan etnik; (5)
penumbuhkembangan pemahaman tentang suatu golongan dengan cara mengajarkan
sejarah, budaya, dan kontribusinya; (6) penekanan pada persamaan dan pluralisme
kultural; (6) penekanan pada keadilan sosial; dan (7) penekanan pada pedagogi
kritis.
Gagasan pendidikan multikultural berawal di Amerika yang memiliki akar
sejarah tentang gerakan hak asasi manusia (HAM) dari kelompok-kelompok
tertindas di negeri tersebut. Banyak pendidikan multikultural yang merujuk pada
gerakan sosial orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain
yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa
perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus
disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga
pendidikan. Tuntutan agar lembaga-lembaga pendidikan konsisten dalam menerima
dan menghargai perbedaan makin gencar disuarakan oleh para aktivis. Mereka
menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan.
Momentum inilah yang dipandang sebagai awal konseptualisasi pendidikan
multikultural.
Tahun 1980-an dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan
pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis
pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan
multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide
persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok
sarjana di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto
yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam
kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya
dengan transformasi dan perubahan sosial (Sanusi, 2009).
Multikulturalisme
dipahami sebagai pandangan dunia (worldview)
dan selanjutnya diwujudkan dalam “politics
of recognition.” Sejalan dengan pengertian multikulturalisme yang sangat
beragam serta konsep dan praktiknya yang cenderung berkembang, Bikhu Parekh
(dalam Hidayat
Ma’ruf, 2009) membedakan lima macam multikulturalisme berikut ini.
(1) Multikulturalisme isolasionis, mengacu
kepada kehidupan masyarakat yang di dalamnya berbagai kelompok kultural
menjalankan kehidupaannya secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang
minimal satu sama lain. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang
sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain
umumnya.
(2)
Multikulturalisme akomodatif, dalam masyarakat yang
plural, mereka yang memiliki kultur dominan membuat penyesuaian-penyesuaian dan
akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat
multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan
ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan
kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka;
sebaliknya kaum minoritas tidak menantang kultur dominan.
(3)
Multikulturalisme otonomis, dalam masyarakat plural,
kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan
menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa
diterima. Perhatian pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk
mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok
dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan
suatu masyarakat yang semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
(4)
Multikulturalisme kritikal atau interaktif,
kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern
dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih menuntut penciptaan kultur
kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif
mereka. Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan
bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan
mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas. Karena itulah
kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara
intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi
penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara
genuine.
(5) Multikulturalisme kosmopolitan, yang
berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah
masyarakat yang setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas
terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan
kehidupan kultural masing-masing.
Ide
pendidikan multikultural akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana
direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di
antaranya memuat pesan-pesan berikut ini. Pertama, pendidikan hendaknya
mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam
kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan
kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain.
Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi
gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan
dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya
meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan.
Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam
pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara
lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan
memelihara.
Pendidikan multikultural, menurut Yaqin (2005: 26)
mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal pendidikan multikultural adalah membangun wacana pendidikan
multikultural di kalangan guru, dosen ahli pendidikan, pengambilan kebijakan
dalam dunia pendidikan dan mahasiswa (khususnya mahasiswa LPTK). Sementara itu, tujuan akhir pendidikan multikultural ini
adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran
yang dipelajarinya akan tetapi mereka diharapkan juga mempunyai karakter yang
kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis, dan humanis.
D.
Mengupayakan Pendidikan Bahasa Indonesia Berperspektif Multikultural
Dalam era
reformasi kita bertekad untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru, yaitu
masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang demokratis terdiri dari para anggota
masyarakat yang cerdas. Manusia yang
cerdas bukan hanya semata-mata memiliki kecerdasan intelektual, tetapi berbagai
kecerdesan seperti kecerdasan emosional dan kecerdasan etika serta estetika. Dengan
singkat anggota masyarakat yang cerdas menjadi pilar-pilar dari masyarakat
Indonesia baru adalah manusia yang terdidik dan berbudaya (educated and civilized human being) (Tilaar, 2000: 208-209).
Gagasan pendidikan multikultural juga telah terakomodasi dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 4 (1) UU tersebut
dinyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pendidikan multikultural sangat
berperan untuk membangun sikap toleransi serta kesadaran siswa untuk memiliki perilaku humanis, pluralis, dan demokratis. Pendidikan multikultural akan mampu
meningkatkan kohesifitas, soliditas, dan intimitas di
antara siswa yang keragaman agama, etnik, budaya, pandangan, dan berbagai
perbedaan lainnya.
Resep pendidikan multikultural sebagai solusi
permasalahan dalam masyarakat majemuk tampaknya mengahadapi tantangan yang
tidak ringan. Anita Lie (2006) mengemukakan tiga variabel penting yang yang
menjadi kendala bagi pelaksanaan pendidikan multikultural, yaitu homogenisasi,
kurikulum (khususnya bahan ajar), dan kualitas guru.
Fenomena
homogenisasi terjadi dalam dunia pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan
dan keterjangkauan. Para siswa tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar
belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Terjadi pengelompokan anak berdasar agama, kelas sosio-ekonomi, ras, dan
suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan berinteraksi hanya dengan teman
segolongan. Jika interaksi di luar sekolah juga demikian, pengalaman anak-anak
untuk memahami dan menghargai perbedaan menjadi amat langka.
Materi
merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam kegiatan pendidikan dan
pembelajaran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Anita Lie (2006)
mengungkapkan bahwa buku ajar yang digunakan di SMA—khususnya buku ajar bahasa
Inggris—masih.menunjukkan ketidakseimbangan dan bias yang amat membatasi
kesadaran multikultural peserta didik. Ungkapan You are what you read (’Anda dibentuk
oleh apa yang Anda baca”) perlu melandasi penyusun kurikulum. Jika siswa
disodori bahan-bahan pelajaran yang mengandung bias (kelas, gender, etnis,
agama, suku), siswa akan tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka
negatif terhadap orang lain yang berbeda.
Guru
merupakan faktor penentu bagi keberhasilan praktik pendidikan dan pembelajaran.
Jika kelayakan dan kompetensi guru di Indonesia umumnya masih di bawah standar,
khususnya untuk mengelola pembelajaran multikultural, maka keefektifan
pelaksanaan pembelajaran multikultural tentu terkendala.
Berkenaan
dengan pendidikan multikultural, Tilaar (dalam Anita Lie, 2005) mengupas model
pendidikan multikultural di beberapa negara. Menurutnya, tidak ada satu model
pendidikan multikultural yang paling cocok untuk suatu bangsa atau komunitas.
Model pendidikan multikultural di Indonesia harus berdasar Pancasila yang telah
disepakati para pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI. Pendidikan multikultural
bertujuan mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas. Manusia cerdas tidak
hanya cerdik dan berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan
menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral, bersikap demokratis, dan empati
terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai diri sendiri dan orang lain dari
berbagai latar belakang berbeda.
Selaras dengan
komitmen dan rekomendasi yang dikeluarkan pada tahun 1994, pendidikan
multikultural sejalan dengan empat pilar pendidikan yang dirumuskan UNESCO,
yaitu: (1) learning to know, (2) learning to do yang bermakna pada
penguasaan kompetensi dari pada
penguasaan keterampilan, (3)
learning to be, dan (4) learning to live together (with others). Pilar pertama menekankan pada proses belajar-mengajar itu sendiri, yakni
pendidikan sebagai suatu cara mengajarkan bagaimana siswa belajar secara benar
dan baik menurut ukuran-ukuran tertentu yang disepakati. Pilar kedua menekankan
pada pembekalan kecakapan (life skill)
secara lebih luas. Pilar ketiga menekankan pada cara menjadi manusia sesuai
dengan kerangka pikir siswa (Sarwiji Suwandi, 2006: 2).
Pendidikan
konvensional belum secara mendasar mengajarkan sekaligus menanamkan
keterampilan hidup bersama dalam komunitas yang majemuk secara agama, etnik,
dan kultural. Berkenaan dengan itu, pendidikan multikultural sangat relevan
dengan penyuksesan pilar keempat pendidikan UNESCO di atas, yaitu how to live and work together with others.
Banyak
hal yang perlu dilakukan dalam praktik pendidikan dalam upaya penanaman pilar
keempat sebagai suatu jalinan komplementer terhadap ketiga pilar lainnya. Hal
itu antara lain (1) penumbuhkembangan sikap toleran, simpati, dan empati
antarpeserta didik dalam memandang perbedaan; (2) penumbuhkembangan sikap
terbuka dalam penyelesaian berbagai permasalahan bersama; (3) penumbuhkembangan
sikap kebersamaan; (4) penumbuhkembangan akses sama dalam partisipasi; dan (5)
pematangan berpikir dan pendewasaan emosional.
Pendidikan
multikultural sejalan dengan pengembangan dan pelaksanaan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) dan yang pada tahun 2006 disempurnakan menjadi Kurikulum
Tingkat Satuan pendidikan (KTSP). Prinsip pengembangan itu antara lain: (1)
pengalaman belajar dirancang dengan memperhatikan keseimbangan etika, logika,
estetika, dan kinestetika; (2) penguatan integritas nasional dicapai melalui
pendidikan yang menumbuhkembangkan pemahaman dan penghargaan terhadap
perkembangan budaya dan peradaban bangsa Indonesia yang mampu memberikan
sumbangan terhadap peradaban dunia; dan (3) pengembangan kecakapan hidup yang
meliputi keterampilan diri (personal
skill), keterampilan berpikir rasional (thinking
skill), keterampilan sosial (social
skill), keterampilan akademik (academic
skill), dan keterampilan vokasional (vocational
skill) dan semua itu dilakukan melalui pembudayaan membaca, menulis, dan
berhitung, sikap, serta perilaku yang adaptif, kreatif, kooperatif, dan
kompetitif. Sementara itu, prinsip pelaksanaan antara lain bahwa penyediaan tempat yang
memberdayakan semua peserta didik secara demokratis dan berkeadilan untuk
memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap sangat diutamakan. Seluruh
peserta didik dari berbagai kelompok, seperti kelompok yang kurang beruntung
secara ekonomi dan sosial, yang memerlukan bantuan khusus, berbakat, dan unggul
berhak menerima pendidikan yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya
(Depkdiknas, 2003a: 2-3).
Sejalan dengan beberapa tantangan di atas, perlu ada
upaya sinergis dari berbagai pihak untuk mewujudkan pendidikan berperspektif
multikultural. Sebagaimana telah
disinggung di atas, pihak-pihak yang perlu berpartisipasi dalam upaya
itu—khususnya untuk mewujudkan pendidikan bahasa Indonesia berperspektif
multiultural—antara lain adalah pengambil kebijakan, penulis buku pelajaran, dan
guru bahasa Indonesia.
Banyak peran yang dapat diambil oleh pengambil
kebijakan, yang antara lain dalam pengembangan kurikulum Praktik pendidikan
multikultural dapat dimplementasikan manakala tersedia kurikulum yang
berwawasan multikultural. Dari sudut ini, meskipun tidak secara eksplisit
menyebut dan menggunakan kata
multikultural. Kurikulum Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
telah nyata mengakomodasi konsep multikultural. Standar kompetensi mata pelajaran
ini disiapkan dengan mempertimbangkan kedudukan dan fungsi Bahasa dan Sastra
Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Negara serta sastra Indonesia
sebagai hasil cipta intelektual dalam produk budaya, yang berkonsekuensi pada
fungsi dan tujuan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai (1) sarana
pembinaan kesatuan persatuan bangsa; (2) sarana peningkatan pengetahuan dan
keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, (3) sarana peningkatan pengetahuan dan
keterampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan
seni; (4) sarana penyebarluasan pemakaian Bahasa dan Sastra Indonesia yang baik
untuk berbagai keperluan; (5) sarana pengembangan penalaran; dan (6) sarana
pemahaman beranekaragam budaya Indonesia melalui khazanah kesastraan Indonesia
(Depdiknas, 2003b).
Dalam konteks pendidikan multikultural, guru perlu
mencegah agar pemahaman para siswa yang ekslusif ini tidak berkembang atau
dapat dieliminasi. Guru—dan sudah barang pasti bersama stake holders—dituntut memiliki program aksi dan strategi implementasi
dalam upaya membangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis,
dialogis-persuasif, kontekstual, dan humanis. Dengan perkataan lain, pemahaman lintas budaya perlu dimiliki oleh guru.
Dalam konteks pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, guru dituntut memiliki
wawasan yang cukup tentang bagaimana seharusnya menghargai keragaman bahasa.
Wawasan ini penting dimiliki oleh seorang guru agar segala sikap dan tingkah
lakunya menunjukkan sikap yang egaliter
dan selalu menghargai perbedaan bahasa yang ada.
Guru juga
dituntut untuk senantiasa berupaya meningkatkan pemahaman dan kemampuan
komunikasi lintas budaya para siswa.
perlu secara terus-menerus dilakukan guru. Upaya itu antara lain dengan
memilih, menyediakan, dan menggunakan materi ajar yang berwawasan
multikultural. Perlu dihindari buku-buku pelajaran yang bermuatan rasis dan
provokatif terhadap munculnya pertentangan yang destruktif, dan sebaliknya
perlu dipilih dan digunakan buku-buku pelajaran yang peka akan nilai-nilai
keragaman, nilai-nilai multikultural. Tatkala materi itu belum tersedia, guru
dituntut mampu mengembangkan materi ajar yang berperspektif multikultural
tersebut, yakni materi ajar yang menyajikan kekayaan budaya dari berbagai
etnis. Guru bahasa dan sastra Indonesia dapat menyajikan berbagai khazanah
karya sastra yang berasal dari berbagai daerah dan komunitas budaya.
Guru perlu mengupayakan terciptanya kondisi masyarakat belajar (learning community). Konsep ini
menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain.
Hasil belajar diperoleh melalui sharing
antarteman dan antarkelompok. Untuk itu guru perlu melaksanakan pembelajaran
dalam kelompok-kelompok belajar. Keanggotaan dalam kelompok itu hendaknya
bersifat heterogen. Dengan demikian, melalui kelompok itu dimungkinkan siswa
yang kurang bisa belajar dari yang mampu atau siswa yang mampu mengajari yang
lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang mempunyai gagasan segera
memberi usul, dan sebagainya (Sarwiji Suwandi, 2006, 2008).
Masyarakat belajar dapat terjadi
apabila terdapat proses komunikasi dua arah; terdapat hubungan dialogis.
Kegiatan saling belajar bisa terjadi jika tidak ada pihak yang dominan dalam
komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak
yang menganggap paling tahu, dan semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap
pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman,
atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.
Penggunaan
materi dari berbagai etnik dan budaya juga perlu dilakukan oleh para penulis
buku pelajaran. Hal ini juga penulis lakukan tatkala menyusun buku-buku
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk sekolah dasar maupun sekolah
menengah. Pemilihan ini tidak semata-mata didasarkan pada orientasi area
penggunaan buku, tetapi lebih didasarkan pada pengenalan khazanah budaya
Indonesia (bahkan dunia) agar para peserta didik memilki pemahaman dan perilaku
berwawasan multikultural.
E. MENANAMKAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL KEPADA ANAK-ANAK DENGAN SASTRA
Sastra
sebagai salah satu jenis ilmu pengetahuan ternyata mampu masuk ke dalam jenis
bidang apapun dan dalam situasi bagaimanapun. Sastra pun ternyata mampu
berkolaborasi dengan jenis ilmu pengetahuan yang lain, sebut misalnya ilmu
sosial yang menghasilkan ilmu Sosiologi Sastra, ilmu psikologi yang
menghasilkan ilmu Psikologi Sastra (Psikosastra), ilmu jurnalistik yang
menghasilkan ilmu Jurnalisme Sastra, dan ilmu-ilmu yang lainnya. Kolaborasi
antara sastra dengan jenis ilmu pengetahuan yang lain ini, lazim disebut
sebagai sastra interdisipliner.
Dalam
tulisan ini yang akan berkolaborasi dengan sastra adalah ilmu budaya atau bisa
disebut sebagai ilmu Antropologi Sastra. Ilmu tentang manusia dan budaya atau
kebudayaannya kemudian dikaitkan dengan ilmu sastra akan menghasilkan sebuah
kajian tentang manusia dan kebudayaannya yang menarik, yaitu tentang pendidikan
multikultural kepada anak-anak dengan sastra.
F. Pendidikan
Multikultural
Ada beberapa
pendapat para ahli mengenai pengertian dari pendidikan multikulutral. Akan
tetapi pada prinsipnya pengertian-pengertian itu sama. Salah satunya adalah
seperti yang disampaikan oleh Musa Asy’arie, bahwapendidikanmultikultural
adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Di sini
jelas terlihat bahwasanya pendidikan multikultural menitikberatkan pada sikap
hidup yang menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang
hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada kemudian semacam
tekanan, dominasi, diskriminasi, saling mencemooh, dan lain-lain, yang ada
kemudian adalah hidup berdampingan secara harmonis, saling toleransi,
menghormati, pengertian, dan sebagainya.
Ada pendapat
yang cukup menarik utnuk disimak, yaitu apa yang disampaikan oleh Musa
Asy’arie, seperti yang dikutip di atas, “Dengan pendidikan multikultural,
diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan
konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retakâ€. Di
sini terlihat jelas salah satu pentingnya pendidikan multikultural bagi bangsa
Indonesia, yaitu untuk menjaga keutuhan bangsa, persatuan dan kesatuan tetap
terjaga, dan yang pasti integritas bangsa semakin kuat.
Itu hanya
sedikit pengantar saja mengenai pendidikan multikultural yang dewasa ini sedang
berkembang di Indonesia. Pembahasan ini tidak hanya terpusat pada pendidikan
multikultural saja, tetapi kemudian pendidikan multikultural dikaitkan dengan
dunia anak-anak dan sastra.
G. Mengapa
anak-anak?
Prof. Dr.
Henry Guntur Tarigan (1995: 14) memberi pengertian istilah anak-anak adalah
insan yang berusia antara dua sampai dua belas tahun, mencakupi anak-anak pra-sekolah dan sekolah
dasar. Ditinjau dari segi usia, anak-anak pra-sekolah dibagi lagi atas
empat kelompok, anak-anak sekolah dibagi atas tiga kelompok. Itu adalah
pengertian yang dilihat secara teoritis, sementara dilihat dari sisi yang lain,
misalnya psikologi, masa anak-anak pada umumnya merupakan masa yang sangat sensitif
sekali untuk menerima segala apa yang ada di lingkungannya. Pendek kata
anak-anak merupakan pendengar yang baik dan peniru yang baik. Pasalnya segala
apa yang dilihat dan didengarnya dapat dipastikan kemudian akan ditiru dan
dipraktekan dalam kehidupannya. Dan jangan lupa yang tak kalah pentingnya lagi
bahwasanya anak-anak adalah generasi masa depan bangsa Indonesia.
Dalam
kaitannya dengan tema tulisan ini, saat seperti inilah yang sangat tepat untuk
memberikan pendidikan multikultural kepada anak-anak. Anak-anak akan dengan
mudah menerima pendidikan yang disampaikan, menerima segala apa yang didengar
dan dilihatnya. Pendidikan multikultural masuk sebagai bahan ajar yang relefan
dengan kondisi bangsa saat ini dan menjadi bahan pendidikan yang sangat
penting.
H. Sastra
dan Pendidikan Multikultural
Kemudian
bagaimanakah caranya sastra menjadi alat untuk menyampaikan pentingya atau
manfaat dari pendidikan multikultural, agar anak-anak memahami dan melaksakan
pendidikan multikultural. Sesuai dengan judul yang tertera di atas,
“Pendidikan Multikultural kepada Anak-anak dengan Sastraâ€, maka sastra
memegang peranan penting untuk mengajarkan hal tersebut. Ketiga bentuk sastra
di atas semuanya bisa digunakan untuk mengajarkan pendidikan multikultural.
Ada banyak
contoh film karya-karya anak negeri sendiri yang mengajarkan pendidikan
multikultural. Ambil contoh Film Si Bolang (Trans7) dan Film Denias (film layar
lebar besutan sutradara John de Rantau). Pertama, Film Si Bolang (Si Bocah
Petualang) hampir setiap hari ditayangkan di stasiun swasta Trans7. Film ini
mengisahkan tentang sekelompok anak-anak yang berasal dari suatu daerah yang
memperlihatkan kondisi pendidikan di daerah setempat, bermain-main dengan alam
(natural), mempertontonkan macam-macam permainan tradisional, dan
memperlihatkan adat masyarakat setempat, misalnya, mengenai kesenian daerah
setempat. Film Si Bolang dengan mengisahkan kisah tersebut memberi arti kepada
kita bahwa bangsa Indonesia sangat kaya dengan budaya dan sangat berragam manusia,
bahasa, adat, dan sebagainya.
Sebagaimana
pengertian dari pendidikan multikultural yang tersebut di atas, banyaknya ragam
manusia Indonesia, kebudayaan Indonesia, Bahasa daerah, dan lain-lain, akan
semakin utuh persatuan dan kesatuan Indonesia jika kesadaran kita akan
perbedaan, menghargai keanekaragaman budaya, toleransi terhadap sesama, agama
yang berbeda, bahasa yang berbeda, adat yang berbeda, semakin kuat. Di sinilah
peran dari pendidikan multikultural untuk bisa mempertahankan persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia. Film Si Bolang yang semua aktor dan aktrisnya anak-anak,
sangat tepat jika anak-anak menjadi sasaran utama film tersebut, karena
kebanyakan anak-anak sangat suka sekali film tersebut. Film yang masuk ke dalam
jenis sastra anak tersebut, sangat tepat sebagai media pembelajaran pendidikan
multikultural bagi anak-anak sedini mungkin.
Kedua, film
Denias yang mengisahkan kehidupan masyarakat di daerah Papua dengan segala
keanekaragaman kebudayaannya. Film yang disutradarai oleh John de Rantau ini,
mengisahkan tentang seorang anak yang bernama Denias yang giat belajar dan
sekolah walaupun kondisinya tidak memungkinkan. Denias yang lahir dari
masyarakat miskin tidak mungkin bisa bersekolah di sekolah yang bagus, hanya
berupa SD daruratlah yang bisa menampungnya bersekolah. Ditambah lagi dengan
adat msyarakat setempat yang menghendaki anak-anak laki harus bekerja membantu
orang tuanya di rumah. Akan tetapi, dengan kegigihannya dan semangatnya
bersekolah, akhirnya Denias bisa bersekolah di sekolah yang cukup bergengsi
yang di situ diisi oleh anak-anak kepala suku yang terhormat dan kaya.
Tidak hanya
segi pendidikan saja yang ditonjolkan dalam film tersebut, dari segi
kebudayaan, ragam adat, bahasa, alam raya , dan semua elemen dari daerah Papua pun
masuk ke dalam film tersebut. Sama halnya dengan Si Bolang, Denias pun mencoba
memperlihatkan bahwasanya Indonesia sangat kaya dengan adat istiadat,
kebudayaan, bahasa, kekayaan alam, dan lain-lain. Dengan mengambil setting yang
sangat alami, rumah-rumah masyarakat Papua setempat, alam yang masih sangat
alami, mencoba menggugah hati masyarakat Indonesia seluruhnya agar tidak sempit
pandangan terhadapt Indonesia.
Di sinilah
kemudian peran dari sastra yang berupa film Denias terhadap pendidikan
multikultural. Dengan berbagai kultur yang ada tersebut, diharapkan anak-anak
bisa lebih memahami arti penting dari sebuah perbedaan. Biasanya, jurang
pemisah antara kaya miskin, kulit hitam putih, agama yang berbeda, lapisan
masyarakat yang berbeda, semakin besar jika tidak ada semacam pendidikan
mengenai semua perbedaan tersebut. Sifat egois, sombong, diskrimanasi akan
semakin berkembang seiring dengan tidak berkembangnya sifat menghargai
perbedaan. Di sinilah kemudian peran pendidikan multikultural bagi anak-anak,
agar anak-anak sejak usia dini bisa memahami arti perbedaan.
Kedua film
tersebut, merupakan sastra yang dilihat dari sisi sastra audio visual (yang
bisa didengar dan dilihat), selain itu pun masih banyak lagi jenisnya, seperti
film kartun, animasi, dan lain-lain. Sementara, dari sisi sastra visual sangat
banyak ragamnya yang berupa karya-karya tulisan, puisi, cerpen, novel, dan
lain-lain. Banyak karya-karya sastra yang mengajarkan tentang menghargai
perbedaan-perbedaan, toleransi antarsesama, dan sebagainya. Tak sedikit karya
sastra yang mengangkat kebudayaan suatu daerah di Indonesia, adat istiadat, dan
lain-lain. Ambil contoh misalnya NovelRonggeng Dukuh Paruk (Ahmad
Tohari) yang mengambil setting di daerah Paruk. Novel Incest (I
Wayan Artika) yang mengambil setting di daerah Bali. Kedua novel tersebut
sama-sama membicarakan mengenai adat kebiasaan daerah setempat, disertai pula
dengan berragam watak manusianya, dan tak ketinggalan pula kekayaan alam daerah
setempat. Ini mengisyaratkan bahwasanya Indonesia sangat berragam sekali
kebudayaannya, kekayaan ragawi yang cukup besar, dan sebagainya.
I. Sastra Anak
Untuk jenis
sastra bagi anak-anak juga sangat banyak dan berragam jenisnya. Ambil misalnya
cerita-cerita bergambar mengenai cerita rakyat atau dongeng daerah tertentu,
misalnya Sangkuriang, Gunung Tangkuban Perahu, Si Kancil, Timun Mas, Bawang
Merah Bawang Putih, Malin Kundang, dan lain-lain yang kesemuanya itu
menggambarkan kekayaan kebudayaan Indonesia yang tersebar di mana-mana. Di
sinilah petingnya pendididikan multikultural bagi anak-anak, dengan membaca
atau menceritakan cerita-cerita tersebut diharapkan anak-anak bisa mengerti
arti penting dari perbedaan, sekaligus memperkenalkan kekayaan Indonesia.
Dengan cara
bercerita (yang merupakan sastra audio) anak-anak akan semakin antusias atau
lebih tertarik untuk lebih mendengarkan cerita-cerita atau dongeng tersebut.
Pada dasarnya memang anak-anak suka sekali kalau diceritakan atau didongengkan
sesuatu dan ini biasanya lebih masuk ke dalam diri anak tersebut. Sangat
efektif sekali dengan metode bercerita ini, karena yang diserang adalah segi
psikologi anak-anak, jiwa dan pikiran anak-anak, dan akan sangat mudah sekali
unsur pendidikan itu masuk ke dalam diri si anak-anak. Seperti yang diungkapkan
oleh Suwarjo (dosen FIKIP Universitas Lampung) dalam tulisannya, beliau
mengatakan, “Dengan bercerita dan/atau menulis, siswa mengaktualkan tataran
komunikasi dan kognisi individu yang dia milikiâ€. Jadi, anak-anak akan
mengaktualkan tataran komunikasi dan kognisi individu yang dimiliknya dengan
bercerita dan/atau menulis. Anak-anak akan lebih bisa menangkap materi-materi
yang disampaikan dan mampu mengaktualkannya dengan metode bercerita.
Itulah
kehebatan dari sastra sebagai bahan pembelajaran dalam mengajarkan pendidikan
multikultural. Ada beberapa efek positif lain yang diperoleh melalui sastra,
seperti yang disampaikan oleh Suwarjo “Efek positif lain yang diperoleh
melalui sastra, antara lain, terdorongnya motivasi, berkembangnya kognisi,
berkembangnya interpersonal (personality), dan berkembanganya aspek
sosialâ€. Di sini jelas terlihat bahwasanya dengan sastra motivasi akan
semakin terdorong, dalam hal ini motivasi tentang pendidikan multikultural,
kognisi anak-anak akan semakin berkembang, karakter anak pun akan semakin
terbentuk atau interpersonal (personality) anak semakin berkembang, dan
juga aspek sosial anak-anak akan semakin berkembang, interaksi sosial terus
berkembang.
J. Sastra
dan Martabat Suatu Bangsa
Ada sebuah
pendapat yang cukup menarik yang disampaikan oleh para ahli sastra, para ahli
sastra mengungkapkan, “Melalui sastra martabat suatu bangsa dapat terangkat
dan dengan membaca sastra tercipta pula keluhuran budi dan kehalusan rohani.â€
Pendapat ini mengisyaratkan pada kita tentang arti penting dari sastra dan
manfaat dari sastra ternyata sangat besar, sampai-sampai martabat bangsa dapat
terangkat dengan sastra. Memang tidak berlebihan pendapat seperti itu, seperti
yang dibahas dalam tulisan ini salah satunya adalah memang dapat mengangkat martabat
bangsa Indonesia. Dan juga ternyata dengan membaca sastra tercipta pula
keluruhan budi dan kehalusan rohani. Sangat tepat sekali pendapat tersebut,
jika memang yang dibaca adalah karya sastra yang bermutu atau tidak ecek-ecek.
Berarti,
dengan membaca sastra atau dengan sastra itu sendiri arti penting dari
pendididkan multikultural bisa sampai kepada anak-anak, dan tentunya tidak
hanya martabat bangsa bisa terangkat, tetapi persatuan dan kesatuan Indonesia
semakin utuh dan erat serta tidak akan tergoyahkan oleh gelombang apapun dan
oleh jenis angin apapun.
E. Penutup
Keanekaragaman etnik, bahasa, kebudayaan, dan agama
yang kita miliki merupakan khazanah yang pantas disyukuri dan dipelihara karena
keragaman itu dapat memunculkan berbagai inspirasi dan kekuatan dalam upaya
pembangunan bangsa. Namun, keaneragaman
itu sering menjadi faktor pemicu terjadinya friksi atau konflik. Konflik itu
selama satu dekade terakhir merupakan fenomena yang sering kita saksikan.
Berkenaan itu, keberagaman dan kekayaan budaya
Nusantara hendaknya diakomodasi dalam kurikulum dan jangan hanya sebatas ikon
dan simbol budaya. Depdiknas disarankan mengadopsi pendidikan
multikultural untuk diberlakukan dalam pendidikan, dari tingkat SD sampai
dengan tingkat SLTA. Pendidikan multikultural itu diintegrasikan dan
menjadi bagian dari kurikulum sekolah (intrakurikuler) atau dapat dilakukan
sebagai kegiatan pengembangan diri yang bersifat ekstrakurikuler. Selain itu,
perlu pula disiapkan dan dilaksanakan program yang memfasilitasi peningkatan
kompetensi guru, khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia berperspektif
multikultural.
DAFTAR PUSTAKA
Anita Lie. 2006. “Mengembangkan
Model Pendidikan Multikultural,” dalam Kompas,
1 September. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/20920
Banks, J. 1993. Multicultural Education:
Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in
Education.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004: Kerangka Dasar. Jakarta: Depdiknas.
. 2003b. Kurikulum 2004 Standar
Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
. 2006. Standar Isi Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia untuk SMA/MA. Jakarta:
BSNP.
Hidayat Ma’ruf. 2009.“Pendidikan
Multikultural: Usaha Menumbuhkan Kemampuan untuk Menghormati Keragaman”
Mendelsohn,
Jere and Fredrick J Baker. 2002. “The Interdiciplinary Project Model: A Workable Response to the
Challenges of Multicultural Education In Our Nation’s Secondary Schools”. http://www.newhorizons.org/strategies/multicultural/mendelsohn.htm,
Nieto, Sonia. 2002. Language, Culture, and Teaching:
Critical Perspective for a New Century http://www-writing.berkeley.edu/TESl-EJ/ej20/r9.html, diunduh 15 Desember 2009.
Parsudi Suparlan. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang
Multikultural. http://www.duniaesai.com/antro/antro3.html, diunduh 15 Desember 2009.
Sanusi, A. Effendi. 2009. Pendidikan Multikultural
dan Implikasinya. http://blog.unila.ac.id/effendisanusi/?p=412, diunduh 18 Desember 2009.
Sarwiji Suwandi. 2006. ”Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Berwawasan Multikultural”, makalah dipresentasikan pada Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra I
yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program FKIP Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, 2 September
2006.
. 2008. ”Peran Cerita Rakyat dalam Menumbuhkembangkan
Wawasan Multikultural Siswa”, makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Sumbangan Cerita Rakyat dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 21 Juli
2008.
. 2008. ”Peran Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam
Menghasilkan Generasi Multikultur”, makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Peran Pembelajaran Bahasa
Indonesia dalam Konteks Multikultural yang diselenggarakan HIMA Bahasa dan
Sastra Indonesia FPBS Universitas Negeri Semarang, 2 November 2008.
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Waluyo Al-Fadhil. 2009.
“Qanaah Dan Toleransi” http://paismpn4skh.wordpress.com/2009/11/18/qanaah-dan-toleransi/, diunduh
16 Desember 2009
Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultur: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi
dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar