Minggu, 30 Maret 2014

Kebudayaan dan Satrasia



Nama : Wiwin Nur Indah Sari
NPM    : 130401080001
Kelas  : 2013 A
MK     : Pendidikan Multikultural

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF MULTIKULTURAL

A.  Pendahuluan
Keragaman yang dimiliki Indonesia sebagai suatu bangsa sungguh tidak pantas kita sia-siakan. Keragaman itu kehendak Allah sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al Hujurat sebagaimana dikutip di atas. Keragaman itu merupakan sebuah anugerah dari Allah SWT yang tak terperikan nilainya. Keragaman yang ada di Indonesia—ibarat sebuah taman yang ditumbuhi beraneka bunga nan indah menawan—perlu kita syukuri. Kesyukuran itu akan membimbing kita untuk mampu menikmati dan memaknai anugerah itu.
Dalam taman raksasa (baca: Indonesia) itu bertumbuh beribu-ribu jenis tanaman dengan segala varietas dan keunikannya. Tak satupun dari varietas itu yang bisa kita abaikan manakala kita tidak menginginkan berkurangnya keindahan taman itu. Penggambaran keindahan sebuah taman belumlah cukup tatkala kita baru menggambarkan satu atau beberapa sudut dari taman nan luas itu. Kita tidak akan dan tidak pernah mampu menangkap dan merasakan keindahan jati taman tersebut jika tidak ada kesediaan dari kita untuk menemukan dan mengakrabi kekayarayaan hayati yang dimilikinya. Pesona dan keindahan taman tercermin dari totalitas kandungannya.
Benarkah ketika kita telah menjelajah luasnya taman, penemuan makna dapat kita rengkuh? Bisa jadi kita akan tetap tidak mampu menangkap dan memaknai keindahan itu, manakala  kita menempatkan dan memandang keindahan itu dari sudut lahiriah semata. Dari sudut pandang ini semua bersifat nisbi. Parameter keindahan yang dimiliki orang berbeda-beda. Betapa banyak orang terkesima dengan indahnya bunga anggrek dan karena itu pula mereka memandangi lekat-lekat dengan perasaan takjub setiap tekstur yang dimilikinya. Namun bagi sebagian orang, keberadaan anggrek dianggapnya sebagai hal biasa dan sama sekali tidak memiliki daya undang. Bagi orang ini, aneka kaktus—yang bagi sebagian orang merasa takut ketika melihatnya—justru lebih menarik.
    Pendeskripsian sebuah taman dengan eneka kandungan hayati yang ada di dalamnya sebagaimana diuraikan di atas sudah barang pasti tidaklah cukup sebagai analogi terhadap keberagaman ke-Indonesia-an kita. Indonesia sebagai negara multikultural memiliki keragaman yang luar biasa. Penduduk Indonesia—yang berjumlah lebih dari 220 juta—terdiri atas 300 suku memiliki dan menggunakan lebih dari 750 bahasa. Mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu, dan pelbagai aliran kepercayaan.
Keberagaman itu hampir takterperikan manakala kita juga melihat dari pandangan mereka terhadap pelbagai fenomena sosial-budaya, ekonomi, politik, dan berbagai fenomena lainnya. Pandangan yang bisa jadi sangat beragam itu—tentang kesetaraan, keadilan, demokratisasi, kebebasan, kerukunan, kesetiakawanan, hak azasi—bukan  saja disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosio-kultural, tetapi juga tingkat pendidikan dan pengalaman hidup mereka di masyarakat. Sungguh semua itu memberi gambaran nyata tentang keberagaman Indonesia.
Dalam tulisan saya (Sarwiji Suwandi, 2006, 2008) telah saya kemukakan bahwa keanekaragaman etnik, bahasa, kebudayaan, dan agama yang kita miliki bisa diibaratkan pisau bermata dua. Keanekaragaman itu, di satu sisi,  merupakan khazanah yang pantas disyukuri dan dipelihara karena jika bisa dikelola dengan baik akan dapat memunculkan berbagai inspirasi dan kekuatan dalam upaya pembangunan bangsa. Keanekaragaman itu pula akan mampu mendinamisasikan kita sebagai sebuah bangsa. Di sisi lain, keaneragaman itu sering menjadi faktor pemicu terjadinya friksi atau konflik.
Potensi konflik tersebut telah diingatkan oleh John Naisbitt dan Alfin Toffler, Futurolog terkemuka, yang memprediksi tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Demikian pula yang dikemukakan Samuel Huntington (1997), seorang futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antarmasyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya.
Di Indonesia, terutama setelah reformasi, konflik di masyarakat merupakan fenomena yang sering kita saksikan. Gesekan antarelemen—yang terkadang bersifat individual atau personal dan menyangkut hal-hal ”kecil”—di masyarakat sering memicu terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan massif. Kekerasan atau kerusuhan itu sering mengakibatkan rakyat yang tidak berdo­sa harus menderita. Kerusuhan Situbondo (1997); Jakarta, Solo (1998); Ambon (1999/2000), Kalimantan (2004), dan Poso merupakan sedikit contoh tindak kekerasan yang mengoyak sendi-sendi kerukunan, keramahtamahan dan kesantunan, dan pilar religiusitas yang kita miliki.
Sehubungan dengan itu, perlu dicari strategi yang efektif dalam memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, politik, budaya, ekonomi dan tentu pendidikan. Pendidikan multikultural, menurut Yaqin (2005: 4-5), menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan ras. Strategi pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran agar mereka selalu berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis. Pendidikan yang mampu menghasilkan generasi yang memiliki sikap toleransi terhadap perbedaan.
Pendidikan dan pembelajaran bahasa Indonesia dalam perspektif multikultual merupakan salah satu solusi bagi sejumlah masalah yang muncul akibat karagaman yang kita miliki. Oleh karena itu, pemikiran dan partisipasi berbagai pihak pemangku kepentingan pendidikan, khususnya pendidikan bahasa Indonesia, dalam mendesain dan mengimplementasikan pendidikan yang berperspektif multikultural sangat diperlukan. Hubungan sinergis serta kerja kolaboratif antara pengambil kebijakan, pengembang kurikulum, penulis buku atau bahan pelajaran, guru, kepala sekolah, pengawas, dan sebagainya sangat diperlukan bagi terwujudnya generasi yang menghargai nilai-nilai multikultural.
Berkenaan dengan permasalahan di atas, dalam makalah ini lebih lanjut akan diuraikan (1) ideologi multikulturalisme, (2) pendidikan dalam perspektif  multikultural, dan (3) upaya mewujudkan pembelajaran bahasa Indonesia berperspektif multikultural.
B. Ideologi Multikulturalisme
Multikulturalisme merupakan acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural. Menurut Watson, sebagaimana dikutip Parsudi Suparlan (2002), multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari  masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah".
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, menurut Parsudi Suparlan (2002) pada umumnya orang Indonesia masa kini memandang multikulturalisme sebagai sebuah konsep asing.  Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. 
Jika demikian, upaya membangun pemahaman tentang multikulturalisme dalam upaya mewujudkan masyarakat multikultural menjadi sebuah kebutuhan. Memperbicangkan multikulturalisme menuntut kita untuk memperbincangkan berbagai permasalahan yang gayut dengan ideologi tersebut, seperti politik dan demokrasi, perlindungan Hak Asasi Manusia, penegakan hukum dan keadilan, ekonomi serta kesempatan bekerja dan berusaha, kesadaran sosial, penegakan etika dan  moral, dan hak budaya komunitas. Oleh karena itu, upaya mewujudkan masyarakat multikultural menuntut partisipasi berbagai elemen masyarakat dan bangsa.
Permasalahan yang kita hadapi dalam upaya menuju dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang multikultural sangat kompleks. Sehubungan dengan itu, saran antropolog Indonesia, Parsudi Suparlan (2002), sangat relevan. Menurutnya, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing. Dengan demikian, secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.
C. Pendidikan dalam Perspektif Multikultural
Banyak pakar memberikan takrif yang berbeda-beda tentang pendidikan multikultural. Pendapat sejumlah ahli tersebut dikemukakan Mendelsohn dan Baker (2002) berikut ini. Menurut Orstein dan Levine (dalam Mendelsohn dan Baker (2002), pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memfokuskan pada penyediaan kesempatan yang setara untuk siswa yang pola-pola kultural dan atau bahasanya membuatnya sulit untuk bisa berhasil pada program-program sekolah tradisional. Banyak program multikultural juga menekankan sikap dan hubungan antarkelompok dan ras yang positif. Meskipun begitu, tidak bisa disimpulkan bahwa multikulturalisme hanya dimaksudkan untuk meningkatkan citra diri (self-image)  dan meningkatkan pembelajaran para siswa minoritas. Di antara tujuan-tujuan utama pendidikan multikultural adalah untuk meyakinkan bahwa masing-masing kelompok siswa  mendapatkan pengetahuan dan apresiasi terhadap kelompok ras dan etnik lain.
            Kriteria Departemen Pendidikan Iowa untuk pendidikan multikultural, sebagaimana dijelakan oleh Thompson (dalam Mendelsohn dan Baker, 2002), memandatkan bahwa siswa harus bisa memahami diri mereka sendiri dan orang lain sebagai mahluk kultural, mengenali perbedaan domestik dan global, memahami pengaruh keanggotaan suatu golongan dan dinamika diskriminasi.
            Sementara itu, menurut Nieto (2002),  pendidikan multikultural sebagai sebuah proses reformasi sekolah yang komprehensif dan pendidikan dasar untuk semua yang dicirikan oleh tujuh sifat dasar, yaitu pendidikan anti rasis, pendidikan dasar, penting untuk semua siswa, merembes melalui kurikulum, pendidikan untuk keadilan sosial, sebuah proses, dan pedagogi kritis.  Nieto menandaskan bahwa semua anak memerlukan pendidikan multikultural agar mereka siap berpartisipasi dalam dunia yang beragam tempat mereka menjadi warga negara.
Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa pendidikan multikultural tidak selalu merupakan pendekatan yang bisa diterima secara universal. Sementara ada ruang yang melarang presentasi yang menggebu-gebu dari  para pengkritiknya. Menurut Banks (dalam Mendelsohn dan Baker, 2002), salah seorang pengkritik menilai bahwa pendidikan multikulturalisme telah “dibayang-bayangi oleh debat pahit yang telah meningkatkan ketegangan etnis dan ras”.
Berdasarkan batasan-batasan tersebut dapat dikemukakan sejumlah unsur penting  yang ditekankan dalam pendidikan multikultural. Unsur-unsur itu adalah (1) pengenalan  perbedaan domestik dan global; (2)  pemberian kesempatan yang setara untuk semua siswa; (3) penekanan pada sikap dan interaksi positif antarkelompok dan ras; (4) pemerolehan pengetahuan dan apresiasi antarkelompok ras dan etnik; (5) penumbuhkembangan pemahaman tentang suatu golongan dengan cara mengajarkan sejarah, budaya, dan kontribusinya; (6) penekanan pada persamaan dan pluralisme kultural; (6) penekanan pada keadilan sosial; dan (7) penekanan pada pedagogi kritis.
Gagasan pendidikan multikultural berawal di Amerika yang memiliki akar sejarah tentang gerakan hak asasi manusia (HAM) dari kelompok-kelompok tertindas di negeri tersebut. Banyak pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Tuntutan agar lembaga-lembaga pendidikan konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan makin gencar disuarakan oleh para aktivis. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dipandang sebagai awal konseptualisasi pendidikan multikultural.
Tahun 1980-an dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial (Sanusi, 2009). 
Multikulturalisme dipahami sebagai pandangan dunia (worldview) dan selanjutnya diwujudkan dalam “politics of recognition.” Sejalan dengan pengertian multikulturalisme yang sangat beragam serta konsep dan praktiknya yang cenderung berkembang, Bikhu Parekh (dalam Hidayat Ma’ruf, 2009) membedakan lima macam multikulturalisme berikut ini.
(1)   Multikulturalisme isolasionis, mengacu kepada kehidupan masyarakat yang di dalamnya berbagai kelompok kultural menjalankan kehidupaannya secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang minimal satu sama lain. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya.
(2)   Multikulturalisme akomodatif, dalam masyarakat yang plural, mereka yang memiliki kultur dominan membuat penyesuaian-penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka; sebaliknya kaum minoritas tidak menantang kultur dominan.
(3)   Multikulturalisme otonomis, dalam masyarakat plural, kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
(4)   Multikulturalisme kritikal atau interaktif, kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas. Karena itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine.
(5)   Multikulturalisme kosmopolitan, yang berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat yang setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
Ide pendidikan multikultural akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat pesan-pesan berikut ini. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Pendidikan multikultural, menurut Yaqin (2005: 26) mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal pendidikan multikultural adalah membangun wacana pendidikan multikultural di kalangan guru, dosen ahli pendidikan, pengambilan kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa (khususnya mahasiswa LPTK).  Sementara itu,  tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi mereka diharapkan juga mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis, dan humanis.
D. Mengupayakan Pendidikan Bahasa Indonesia Berperspektif Multikultural
Dalam era reformasi kita bertekad untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru, yaitu masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang demokratis terdiri dari para anggota masyarakat yang cerdas. Manusia yang cerdas bukan hanya semata-mata memiliki kecerdasan intelektual, tetapi berbagai kecerdesan seperti kecerdasan emosional dan kecerdasan etika serta estetika. Dengan singkat anggota masyarakat yang cerdas menjadi pilar-pilar dari masyarakat Indonesia baru adalah manusia yang terdidik dan berbudaya (educated and civilized human being) (Tilaar, 2000: 208-209).
Gagasan pendidikan multikultural juga telah terakomodasi dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 4 (1) UU tersebut dinyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pendidikan multikultural sangat berperan untuk membangun sikap toleransi serta kesadaran siswa untuk memiliki perilaku humanis, pluralis, dan demokratis. Pendidikan multikultural akan mampu meningkatkan kohesifitas, soliditas, dan intimitas di antara siswa yang keragaman agama, etnik, budaya, pandangan, dan berbagai perbedaan lainnya.
Resep pendidikan multikultural sebagai solusi permasalahan dalam masyarakat majemuk tampaknya mengahadapi tantangan yang tidak ringan. Anita Lie (2006)  mengemukakan tiga variabel penting yang yang menjadi kendala bagi pelaksanaan pendidikan multikultural, yaitu homogenisasi, kurikulum (khususnya bahan ajar), dan kualitas guru.
Fenomena homogenisasi terjadi dalam dunia pendidikan akibat tarik ulur antara keunggulan dan keterjangkauan. Para siswa tersegregasi dalam sekolah-sekolah sesuai latar belakang sosio-ekonomi, agama, dan etnisitas. Terjadi pengelompokan anak berdasar agama, kelas sosio-ekonomi, ras, dan suku. Tiap hari anak-anak bergaul dan berinteraksi hanya dengan teman segolongan. Jika interaksi di luar sekolah juga demikian, pengalaman anak-anak untuk memahami dan menghargai perbedaan menjadi amat langka.
Materi merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Anita Lie (2006) mengungkapkan bahwa buku ajar yang digunakan di SMA—khususnya buku ajar bahasa Inggris—masih.menunjukkan ketidakseimbangan dan bias yang amat membatasi kesadaran multikultural peserta didik. Ungkapan You are what you read (’Anda dibentuk oleh apa yang Anda baca”) perlu melandasi penyusun kurikulum. Jika siswa disodori bahan-bahan pelajaran yang mengandung bias (kelas, gender, etnis, agama, suku), siswa akan tumbuh menjadi manusia dengan praduga dan prasangka negatif terhadap orang lain yang berbeda.
Guru merupakan faktor penentu bagi keberhasilan praktik pendidikan dan pembelajaran. Jika kelayakan dan kompetensi guru di Indonesia umumnya masih di bawah standar, khususnya untuk mengelola pembelajaran multikultural, maka keefektifan pelaksanaan pembelajaran multikultural tentu terkendala.
Berkenaan dengan pendidikan multikultural, Tilaar (dalam Anita Lie, 2005) mengupas model pendidikan multikultural di beberapa negara. Menurutnya, tidak ada satu model pendidikan multikultural yang paling cocok untuk suatu bangsa atau komunitas. Model pendidikan multikultural di Indonesia harus berdasar Pancasila yang telah disepakati para pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI. Pendidikan multikultural bertujuan mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas. Manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral, bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda.
Selaras dengan komitmen dan rekomendasi yang dikeluarkan pada tahun 1994, pendidikan multikultural sejalan dengan empat pilar pendidikan yang dirumuskan UNESCO, yaitu: (1) learning to know, (2) learning to do yang bermakna pada penguasaan kompetensi dari pada  penguasaan keterampilan, (3) learning to be, dan (4)  learning to live together (with others). Pilar pertama menekankan pada proses belajar-mengajar itu sendiri, yakni pendidikan sebagai suatu cara mengajarkan bagaimana siswa belajar secara benar dan baik menurut ukuran-ukuran tertentu yang disepakati. Pilar kedua menekankan pada pembekalan kecakapan (life skill) secara lebih luas. Pilar ketiga menekankan pada cara menjadi manusia sesuai dengan kerangka pikir siswa (Sarwiji Suwandi, 2006: 2).
Pendidikan konvensional belum secara mendasar mengajarkan sekaligus menanamkan keterampilan hidup bersama dalam komunitas yang majemuk secara agama, etnik, dan kultural. Berkenaan dengan itu, pendidikan multikultural sangat relevan dengan penyuksesan pilar keempat pendidikan UNESCO di atas, yaitu how to live and work together with others.
            Banyak hal yang perlu dilakukan dalam praktik pendidikan dalam upaya penanaman pilar keempat sebagai suatu jalinan komplementer terhadap ketiga pilar lainnya. Hal itu antara lain (1) penumbuhkembangan sikap toleran, simpati, dan empati antarpeserta didik dalam memandang perbedaan; (2) penumbuhkembangan sikap terbuka dalam penyelesaian berbagai permasalahan bersama; (3) penumbuhkembangan sikap kebersamaan; (4) penumbuhkembangan akses sama dalam partisipasi; dan (5) pematangan berpikir dan pendewasaan emosional.
Pendidikan multikultural sejalan dengan pengembangan dan pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan yang pada tahun 2006 disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP). Prinsip pengembangan itu antara lain: (1) pengalaman belajar dirancang dengan memperhatikan keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika; (2) penguatan integritas nasional dicapai melalui pendidikan yang menumbuhkembangkan pemahaman dan penghargaan terhadap perkembangan budaya dan peradaban bangsa Indonesia yang mampu memberikan sumbangan terhadap peradaban dunia; dan (3) pengembangan kecakapan hidup yang meliputi keterampilan diri (personal skill), keterampilan berpikir rasional (thinking skill), keterampilan sosial (social skill), keterampilan akademik (academic skill), dan keterampilan vokasional (vocational skill) dan semua itu dilakukan melalui pembudayaan membaca, menulis, dan berhitung, sikap, serta perilaku yang adaptif, kreatif, kooperatif, dan kompetitif. Sementara itu, prinsip pelaksanaan antara lain bahwa penyediaan tempat yang memberdayakan semua peserta didik secara demokratis dan berkeadilan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap sangat diutamakan. Seluruh peserta didik dari berbagai kelompok, seperti kelompok yang kurang beruntung secara ekonomi dan sosial, yang memerlukan bantuan khusus, berbakat, dan unggul berhak menerima pendidikan yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya (Depkdiknas, 2003a: 2-3).
Sejalan dengan beberapa tantangan di atas, perlu ada upaya sinergis dari berbagai pihak untuk mewujudkan pendidikan berperspektif multikultural.  Sebagaimana telah disinggung di atas, pihak-pihak yang perlu berpartisipasi dalam upaya itu—khususnya untuk mewujudkan pendidikan bahasa Indonesia berperspektif multiultural—antara lain adalah pengambil kebijakan, penulis buku pelajaran, dan guru bahasa Indonesia.
Banyak peran yang dapat diambil oleh pengambil kebijakan, yang antara lain dalam pengembangan kurikulum Praktik pendidikan multikultural dapat dimplementasikan manakala tersedia kurikulum yang berwawasan multikultural. Dari sudut ini, meskipun tidak secara eksplisit menyebut dan menggunakan kata  multikultural. Kurikulum Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia telah nyata mengakomodasi konsep multikultural. Standar kompetensi mata pelajaran ini disiapkan dengan mempertimbangkan kedudukan dan fungsi Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Negara serta sastra Indonesia sebagai hasil cipta intelektual dalam produk budaya, yang berkonsekuensi pada fungsi dan tujuan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai (1) sarana pembinaan kesatuan persatuan bangsa; (2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, (3)  sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) sarana penyebarluasan pemakaian Bahasa dan Sastra Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan; (5) sarana pengembangan penalaran; dan (6) sarana pemahaman beranekaragam budaya Indonesia melalui khazanah kesastraan Indonesia (Depdiknas, 2003b).
Dalam konteks pendidikan multikultural, guru perlu mencegah agar pemahaman para siswa yang ekslusif ini tidak berkembang atau dapat dieliminasi. Guru—dan sudah barang pasti bersama stake holders—dituntut memiliki program aksi dan strategi implementasi dalam upaya membangun pemahaman keberagamaan yang lebih inklusif-pluralis, dialogis-persuasif, kontekstual, dan humanis. Dengan perkataan lain, pemahaman lintas budaya perlu dimiliki oleh guru. Dalam konteks pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, guru dituntut memiliki wawasan yang cukup tentang bagaimana seharusnya menghargai keragaman bahasa. Wawasan ini penting dimiliki oleh seorang guru agar segala sikap dan tingkah lakunya menunjukkan sikap yang egaliter dan selalu menghargai perbedaan bahasa yang ada.
Guru juga dituntut untuk senantiasa berupaya meningkatkan pemahaman dan kemampuan komunikasi lintas budaya para siswa.  perlu secara terus-menerus dilakukan guru. Upaya itu antara lain dengan memilih, menyediakan, dan menggunakan materi ajar yang berwawasan multikultural. Perlu dihindari buku-buku pelajaran yang bermuatan rasis dan provokatif terhadap munculnya pertentangan yang destruktif, dan sebaliknya perlu dipilih dan digunakan buku-buku pelajaran yang peka akan nilai-nilai keragaman, nilai-nilai multikultural. Tatkala materi itu belum tersedia, guru dituntut mampu mengembangkan materi ajar yang berperspektif multikultural tersebut, yakni materi ajar yang menyajikan kekayaan budaya dari berbagai etnis. Guru bahasa dan sastra Indonesia dapat menyajikan berbagai khazanah karya sastra yang berasal dari berbagai daerah dan komunitas budaya.
            Guru perlu mengupayakan terciptanya kondisi masyarakat belajar (learning community). Konsep ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh melalui sharing antarteman dan antarkelompok. Untuk itu guru perlu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Keanggotaan dalam kelompok itu hendaknya bersifat heterogen. Dengan demikian, melalui kelompok itu dimungkinkan siswa yang kurang bisa belajar dari yang mampu atau siswa yang mampu mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan sebagainya (Sarwiji Suwandi, 2006, 2008).
            Masyarakat belajar dapat terjadi apabila terdapat proses komunikasi dua arah; terdapat hubungan dialogis. Kegiatan saling belajar bisa terjadi jika tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, dan semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.
Penggunaan materi dari berbagai etnik dan budaya juga perlu dilakukan oleh para penulis buku pelajaran. Hal ini juga penulis lakukan tatkala menyusun buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk sekolah dasar maupun sekolah menengah. Pemilihan ini tidak semata-mata didasarkan pada orientasi area penggunaan buku, tetapi lebih didasarkan pada pengenalan khazanah budaya Indonesia (bahkan dunia) agar para peserta didik memilki pemahaman dan perilaku berwawasan multikultural.
E. MENANAMKAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL KEPADA ANAK-ANAK DENGAN SASTRA
Sastra sebagai salah satu jenis ilmu pengetahuan ternyata mampu masuk ke dalam jenis bidang apapun dan dalam situasi bagaimanapun. Sastra pun ternyata mampu berkolaborasi dengan jenis ilmu pengetahuan yang lain, sebut misalnya ilmu sosial yang menghasilkan ilmu Sosiologi Sastra, ilmu psikologi yang menghasilkan ilmu Psikologi Sastra (Psikosastra), ilmu jurnalistik yang menghasilkan ilmu Jurnalisme Sastra, dan ilmu-ilmu yang lainnya. Kolaborasi antara sastra dengan jenis ilmu pengetahuan yang lain ini, lazim disebut sebagai sastra interdisipliner.
Dalam tulisan ini yang akan berkolaborasi dengan sastra adalah ilmu budaya atau bisa disebut sebagai ilmu Antropologi Sastra. Ilmu tentang manusia dan budaya atau kebudayaannya kemudian dikaitkan dengan ilmu sastra akan menghasilkan sebuah kajian tentang manusia dan kebudayaannya yang menarik, yaitu tentang pendidikan multikultural kepada anak-anak dengan sastra.
F. Pendidikan Multikultural
Ada beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian dari pendidikan multikulutral. Akan tetapi pada prinsipnya pengertian-pengertian itu sama. Salah satunya adalah seperti yang disampaikan oleh Musa Asy’arie, bahwapendidikanmultikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Di sini jelas terlihat bahwasanya pendidikan multikultural menitikberatkan pada sikap hidup yang menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada kemudian semacam tekanan, dominasi, diskriminasi, saling mencemooh, dan lain-lain, yang ada kemudian adalah hidup berdampingan secara harmonis, saling toleransi, menghormati, pengertian, dan sebagainya.
Ada pendapat yang cukup menarik utnuk disimak, yaitu apa yang disampaikan oleh Musa Asy’arie, seperti yang dikutip di atas, “Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak”. Di sini terlihat jelas salah satu pentingnya pendidikan multikultural bagi bangsa Indonesia, yaitu untuk menjaga keutuhan bangsa, persatuan dan kesatuan tetap terjaga, dan yang pasti integritas bangsa semakin kuat.
Itu hanya sedikit pengantar saja mengenai pendidikan multikultural yang dewasa ini sedang berkembang di Indonesia. Pembahasan ini tidak hanya terpusat pada pendidikan multikultural saja, tetapi kemudian pendidikan multikultural dikaitkan dengan dunia anak-anak dan sastra.
G. Mengapa anak-anak?
Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan (1995: 14) memberi pengertian istilah anak-anak adalah insan yang berusia antara dua sampai dua belas tahun, mencakupi anak-anak pra-sekolah dan sekolah dasar. Ditinjau dari segi usia, anak-anak pra-sekolah dibagi lagi atas empat kelompok, anak-anak sekolah dibagi atas tiga kelompok. Itu adalah pengertian yang dilihat secara teoritis, sementara dilihat dari sisi yang lain, misalnya psikologi, masa anak-anak pada umumnya merupakan masa yang sangat sensitif sekali untuk menerima segala apa yang ada di lingkungannya. Pendek kata anak-anak merupakan pendengar yang baik dan peniru yang baik. Pasalnya segala apa yang dilihat dan didengarnya dapat dipastikan kemudian akan ditiru dan dipraktekan dalam kehidupannya. Dan jangan lupa yang tak kalah pentingnya lagi bahwasanya anak-anak adalah generasi masa depan bangsa Indonesia.
Dalam kaitannya dengan tema tulisan ini, saat seperti inilah yang sangat tepat untuk memberikan pendidikan multikultural kepada anak-anak. Anak-anak akan dengan mudah menerima pendidikan yang disampaikan, menerima segala apa yang didengar dan dilihatnya. Pendidikan multikultural masuk sebagai bahan ajar yang relefan dengan kondisi bangsa saat ini dan menjadi bahan pendidikan yang sangat penting.
H. Sastra dan Pendidikan Multikultural
Kemudian bagaimanakah caranya sastra menjadi alat untuk menyampaikan pentingya atau manfaat dari pendidikan multikultural, agar anak-anak memahami dan melaksakan pendidikan multikultural. Sesuai dengan judul yang tertera di atas, “Pendidikan Multikultural kepada Anak-anak dengan Sastra”, maka sastra memegang peranan penting untuk mengajarkan hal tersebut. Ketiga bentuk sastra di atas semuanya bisa digunakan untuk mengajarkan pendidikan multikultural.
Ada banyak contoh film karya-karya anak negeri sendiri yang mengajarkan pendidikan multikultural. Ambil contoh Film Si Bolang (Trans7) dan Film Denias (film layar lebar besutan sutradara John de Rantau). Pertama, Film Si Bolang (Si Bocah Petualang) hampir setiap hari ditayangkan di stasiun swasta Trans7. Film ini mengisahkan tentang sekelompok anak-anak yang berasal dari suatu daerah yang memperlihatkan kondisi pendidikan di daerah setempat, bermain-main dengan alam (natural), mempertontonkan macam-macam permainan tradisional, dan memperlihatkan adat masyarakat setempat, misalnya, mengenai kesenian daerah setempat. Film Si Bolang dengan mengisahkan kisah tersebut memberi arti kepada kita bahwa bangsa Indonesia sangat kaya dengan budaya dan sangat berragam manusia, bahasa, adat, dan sebagainya.
Sebagaimana pengertian dari pendidikan multikultural yang tersebut di atas, banyaknya ragam manusia Indonesia, kebudayaan Indonesia, Bahasa daerah, dan lain-lain, akan semakin utuh persatuan dan kesatuan Indonesia jika kesadaran kita akan perbedaan, menghargai keanekaragaman budaya, toleransi terhadap sesama, agama yang berbeda, bahasa yang berbeda, adat yang berbeda, semakin kuat. Di sinilah peran dari pendidikan multikultural untuk bisa mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Film Si Bolang yang semua aktor dan aktrisnya anak-anak, sangat tepat jika anak-anak menjadi sasaran utama film tersebut, karena kebanyakan anak-anak sangat suka sekali film tersebut. Film yang masuk ke dalam jenis sastra anak tersebut, sangat tepat sebagai media pembelajaran pendidikan multikultural bagi anak-anak sedini mungkin.
Kedua, film Denias yang mengisahkan kehidupan masyarakat di daerah Papua dengan segala keanekaragaman kebudayaannya. Film yang disutradarai oleh John de Rantau ini, mengisahkan tentang seorang anak yang bernama Denias yang giat belajar dan sekolah walaupun kondisinya tidak memungkinkan. Denias yang lahir dari masyarakat miskin tidak mungkin bisa bersekolah di sekolah yang bagus, hanya berupa SD daruratlah yang bisa menampungnya bersekolah. Ditambah lagi dengan adat msyarakat setempat yang menghendaki anak-anak laki harus bekerja membantu orang tuanya di rumah. Akan tetapi, dengan kegigihannya dan semangatnya bersekolah, akhirnya Denias bisa bersekolah di sekolah yang cukup bergengsi yang di situ diisi oleh anak-anak kepala suku yang terhormat dan kaya.
Tidak hanya segi pendidikan saja yang ditonjolkan dalam film tersebut, dari segi kebudayaan, ragam adat, bahasa, alam raya , dan semua elemen dari daerah Papua pun masuk ke dalam film tersebut. Sama halnya dengan Si Bolang, Denias pun mencoba memperlihatkan bahwasanya Indonesia sangat kaya dengan adat istiadat, kebudayaan, bahasa, kekayaan alam, dan lain-lain. Dengan mengambil setting yang sangat alami, rumah-rumah masyarakat Papua setempat, alam yang masih sangat alami, mencoba menggugah hati masyarakat Indonesia seluruhnya agar tidak sempit pandangan terhadapt Indonesia.
Di sinilah kemudian peran dari sastra yang berupa film Denias terhadap pendidikan multikultural. Dengan berbagai kultur yang ada tersebut, diharapkan anak-anak bisa lebih memahami arti penting dari sebuah perbedaan. Biasanya, jurang pemisah antara kaya miskin, kulit hitam putih, agama yang berbeda, lapisan masyarakat yang berbeda, semakin besar jika tidak ada semacam pendidikan mengenai semua perbedaan tersebut. Sifat egois, sombong, diskrimanasi akan semakin berkembang seiring dengan tidak berkembangnya sifat menghargai perbedaan. Di sinilah kemudian peran pendidikan multikultural bagi anak-anak, agar anak-anak sejak usia dini bisa memahami arti perbedaan.
Kedua film tersebut, merupakan sastra yang dilihat dari sisi sastra audio visual (yang bisa didengar dan dilihat), selain itu pun masih banyak lagi jenisnya, seperti film kartun, animasi, dan lain-lain. Sementara, dari sisi sastra visual sangat banyak ragamnya yang berupa karya-karya tulisan, puisi, cerpen, novel, dan lain-lain. Banyak karya-karya sastra yang mengajarkan tentang menghargai perbedaan-perbedaan, toleransi antarsesama, dan sebagainya. Tak sedikit karya sastra yang mengangkat kebudayaan suatu daerah di Indonesia, adat istiadat, dan lain-lain. Ambil contoh misalnya NovelRonggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) yang mengambil setting di daerah Paruk. Novel Incest (I Wayan Artika) yang mengambil setting di daerah Bali. Kedua novel tersebut sama-sama membicarakan mengenai adat kebiasaan daerah setempat, disertai pula dengan berragam watak manusianya, dan tak ketinggalan pula kekayaan alam daerah setempat. Ini mengisyaratkan bahwasanya Indonesia sangat berragam sekali kebudayaannya, kekayaan ragawi yang cukup besar, dan sebagainya.
I.     Sastra Anak
Untuk jenis sastra bagi anak-anak juga sangat banyak dan berragam jenisnya. Ambil misalnya cerita-cerita bergambar mengenai cerita rakyat atau dongeng daerah tertentu, misalnya Sangkuriang, Gunung Tangkuban Perahu, Si Kancil, Timun Mas, Bawang Merah Bawang Putih, Malin Kundang, dan lain-lain yang kesemuanya itu menggambarkan kekayaan kebudayaan Indonesia yang tersebar di mana-mana. Di sinilah petingnya pendididikan multikultural bagi anak-anak, dengan membaca atau menceritakan cerita-cerita tersebut diharapkan anak-anak bisa mengerti arti penting dari perbedaan, sekaligus memperkenalkan kekayaan Indonesia.
Dengan cara bercerita (yang merupakan sastra audio) anak-anak akan semakin antusias atau lebih tertarik untuk lebih mendengarkan cerita-cerita atau dongeng tersebut. Pada dasarnya memang anak-anak suka sekali kalau diceritakan atau didongengkan sesuatu dan ini biasanya lebih masuk ke dalam diri anak tersebut. Sangat efektif sekali dengan metode bercerita ini, karena yang diserang adalah segi psikologi anak-anak, jiwa dan pikiran anak-anak, dan akan sangat mudah sekali unsur pendidikan itu masuk ke dalam diri si anak-anak. Seperti yang diungkapkan oleh Suwarjo (dosen FIKIP Universitas Lampung) dalam tulisannya, beliau mengatakan, “Dengan bercerita dan/atau menulis, siswa mengaktualkan tataran komunikasi dan kognisi individu yang dia miliki”. Jadi, anak-anak akan mengaktualkan tataran komunikasi dan kognisi individu yang dimiliknya dengan bercerita dan/atau menulis. Anak-anak akan lebih bisa menangkap materi-materi yang disampaikan dan mampu mengaktualkannya dengan metode bercerita.
Itulah kehebatan dari sastra sebagai bahan pembelajaran dalam mengajarkan pendidikan multikultural. Ada beberapa efek positif lain yang diperoleh melalui sastra, seperti yang disampaikan oleh Suwarjo “Efek positif lain yang diperoleh melalui sastra, antara lain, terdorongnya motivasi, berkembangnya kognisi, berkembangnya interpersonal (personality), dan berkembanganya aspek sosial”. Di sini jelas terlihat bahwasanya dengan sastra motivasi akan semakin terdorong, dalam hal ini motivasi tentang pendidikan multikultural, kognisi anak-anak akan semakin berkembang, karakter anak pun akan semakin terbentuk atau interpersonal (personality) anak semakin berkembang, dan juga aspek sosial anak-anak akan semakin berkembang, interaksi sosial terus berkembang.
J. Sastra dan Martabat Suatu Bangsa
Ada sebuah pendapat yang cukup menarik yang disampaikan oleh para ahli sastra, para ahli sastra mengungkapkan, “Melalui sastra martabat suatu bangsa dapat terangkat dan dengan membaca sastra tercipta pula keluhuran budi dan kehalusan rohani.” Pendapat ini mengisyaratkan pada kita tentang arti penting dari sastra dan manfaat dari sastra ternyata sangat besar, sampai-sampai martabat bangsa dapat terangkat dengan sastra. Memang tidak berlebihan pendapat seperti itu, seperti yang dibahas dalam tulisan ini salah satunya adalah memang dapat mengangkat martabat bangsa Indonesia. Dan juga ternyata dengan membaca sastra tercipta pula keluruhan budi dan kehalusan rohani. Sangat tepat sekali pendapat tersebut, jika memang yang dibaca adalah karya sastra yang bermutu atau tidak ecek-ecek.
Berarti, dengan membaca sastra atau dengan sastra itu sendiri arti penting dari pendididkan multikultural bisa sampai kepada anak-anak, dan tentunya tidak hanya martabat bangsa bisa terangkat, tetapi persatuan dan kesatuan Indonesia semakin utuh dan erat serta tidak akan tergoyahkan oleh gelombang apapun dan oleh jenis angin apapun.
E. Penutup
Keanekaragaman etnik, bahasa, kebudayaan, dan agama yang kita miliki merupakan khazanah yang pantas disyukuri dan dipelihara karena keragaman itu dapat memunculkan berbagai inspirasi dan kekuatan dalam upaya pembangunan bangsa. Namun,  keaneragaman itu sering menjadi faktor pemicu terjadinya friksi atau konflik. Konflik itu selama satu dekade terakhir merupakan fenomena yang sering kita saksikan.
Berkenaan itu, keberagaman dan kekayaan budaya Nusantara hendaknya diakomodasi dalam kurikulum dan jangan hanya sebatas ikon dan simbol budaya. Depdiknas disarankan mengadopsi pendidikan multikultural untuk diberlakukan dalam pendidikan, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA.  Pendidikan multikultural itu diintegrasikan dan menjadi bagian dari kurikulum sekolah (intrakurikuler) atau dapat dilakukan sebagai kegiatan pengembangan diri yang bersifat ekstrakurikuler. Selain itu, perlu pula disiapkan dan dilaksanakan program yang memfasilitasi peningkatan kompetensi guru, khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia berperspektif multikultural.




DAFTAR PUSTAKA
Anita Lie. 2006. “Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural,” dalam Kompas, 1 September. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/20920
Banks, J. 1993. Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004: Kerangka Dasar. Jakarta: Depdiknas.
. 2003b. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
. 2006. Standar Isi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMA/MA. Jakarta: BSNP.
Mendelsohn, Jere and Fredrick J Baker. 2002. “The Interdiciplinary Project Model: A Workable Response to the Challenges of Multicultural Education In Our Nation’s Secondary Schools”. http://www.newhorizons.org/strategies/multicultural/mendelsohn.htm, 
Nieto,  Sonia. 2002. Language, Culture, and Teaching: Critical Perspective for a New Century http://www-writing.berkeley.edu/TESl-EJ/ej20/r9.html, diunduh 15 Desember 2009.

Parsudi Suparlan. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. http://www.duniaesai.com/antro/antro3.html, diunduh 15 Desember 2009.
Sanusi, A. Effendi. 2009. Pendidikan Multikultural dan Implikasinya. http://blog.unila.ac.id/effendisanusi/?p=412, diunduh 18 Desember 2009.
Sarwiji Suwandi. 2006. ”Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Berwawasan Multikultural”, makalah dipresentasikan pada Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra I yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Bahasa  dan Sastra Indonesia Program FKIP Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2 September  2006.
. 2008. ”Peran Cerita Rakyat dalam Menumbuhkembangkan Wawasan Multikultural Siswa”, makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Sumbangan Cerita Rakyat dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia  yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 21 Juli 2008.
. 2008. ”Peran Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Menghasilkan Generasi Multikultur”, makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Peran Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Konteks Multikultural yang diselenggarakan HIMA Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS Universitas Negeri Semarang, 2 November 2008.
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Waluyo Al-Fadhil. 2009. “Qanaah Dan Toleransi” http://paismpn4skh.wordpress.com/2009/11/18/qanaah-dan-toleransi/, diunduh 16 Desember 2009 
Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultur: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar