LATAR BELAKANG DAN SEJARAH PUJANGGA
BARU
1.1 Latar belakang
Buku Pujangga Baru, Prosa
dan Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga rampai
(antologia) dari para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya digolongkan
ke dalam Angkatan Pujangga Baru. Seperti diketahui, oleh para ahli dan para
penyusun buku-buku pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra Indonesia
dibagi-bagi menjadi angkatan-angkatan. Angkatan Pujangga Baru biasanya
ditempatkan sebagai angkatan kedua, yaitu setelah angkatan Balai Pustaka dan
mendahului kelahiran angkatan ‘45. Tetapi kita lihat pembagian sejarah sastra
Indonesia dalam angkatan-angkatan ini, tidaklah disertai dengan alasan-alasan
yang bisa kita terima. Tidak sedikit pula para sastrawan yang menolak atau
tidak mau dimasukan dalam sesuatu angkatan, mereka memilih masuk angkatan yang
disukainya. Misalnya Achdiat K. Mihardja pernah menyatakan bahwa ia lebih suka
digolongkan kepada angkatan Pujangga Baru, padahal para ahli telah
menggolongkannya kepada angkatan ‘45.
Di masa kolonialisme, pengaruh
itu tampak dalam karya sastra, baik yang memiliki semangat antikolonialisme di
zaman Belanda maupun berkembangnya simbolisme di zaman Jepang akibat situasi
yang sangat represif. Di masa pemerintahan Soekarno, perbedaan ideologi yang
demikian tajam nasionalisme, agama, komunisme juga berdampak langsung terhadap
perkembangan sastra Indonesia, yakni dengan merasuknya ideologi dalam diri
sastrawan maupun dalam karya sastra yang dihasilkannya.
Sutan Takdir Alisjahbana, yang
pada 1935 berusia 27 tahun, menghentak kalangan intelektual Indonesia dengan
pemikirannya yang radikal melalui sebuah artikel berjudul Menuju Masyarakat dan
Kebudayaan Baru yang dimuat di majalah yang didirikan dan dipimpinnya sendiri, Pujangga
Baru. Dalam tulisannya itu, Sutan Takdir Alisjahbana membedakan kebudayaan
praIndonesia (yang berlangsung hingga akhir abad ke-19) dan kebudayaan
Indonesia (yang dimuali pada awal abad ke-20).
Menurut Sutan Takdir
Alisjahbana, perjuangan Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, dan
lain-lain bukanlah untuk Indonesia. Demikian pula dengan pembuatan Candi
Borobudur dan Prambanan yang tidak ada kaitannya dengan Indonesia. Semuanya itu
termasuk dalam kebudayaan praIndonesia. Kebudayaan Indonesia, menurut Sutan
Takdir Alisjahbana, bukanlah sambungan kerajaan Mataram, Sriwijaya, atau
Majapahit. Kebudayaan Indonesia yang dimaksud Sutan Takdir Alisjahbana adalah
kebudayaan yang terlepas dari kebudayaan praIndonesia dan harus berorientasi ke
Barat. Karena, masyarakat Indonesia yang statis harus diubah menjadi dinamis.
Untuk itu, kita harus mencontoh negara-negara yang dinamis, yakni negara-negara
Barat. Dan, sejatinya, kaum terpelajar Indonesia generasi pertama dapat
berorganisasi, berpolitik, mendirikan Budi Utomo pun karena pendidikan Barat.
Semangat muda yang dipancarkan Sutan Takdir Alisjahbana itu sebenarnya
mengikuti jejak pendahulunya yang menggelar kongres pemuda pada 28 Oktober
1928.
Beliau mencetuskan idenya yang
kemudian disebut sebagai Polemik Kebudayaan yang ujungnya adalah menganjurkan
rakyat untuk memikirkan masa depan dunia, karena Indonesia adalah bagian
daripada dunia. Ide ini secara gamblang diilustrasikan dalam novelnya yang
berjudul Layar Terkembang, dimana tema yang ditonjolkan adalah pelepasan diri
dari ikatan budaya tradisional dan kemasyarakatan lama serta menderap bersama
budaya dan masyarakat modern. Oleh sebab itu, kemudian Sutan Takdir Alisjahbana
dituduh kebarat-baratan dan dianggap mengingkari budaya bangsa sendiri. Lalu
ada juga Salah Asuhan karya Abdul Moeis yang menceritakan perubahan paradigma
seorang anak Melayu yang berenang dalam pendidikan Belanda.
Gagasan yang dilontarkan Sutan
Takdir Alisjahbana di atas mendapat reaksi dari rekan dan seniornya. Sanusi
Pane, yang saat itu berusia 30 tahun, tidak sependapat dengan Sutan Takdir
Alisjahbana. Ia tidak setuju dengan pembagian sejarah semacam itu. Menurut
Sanusi Pane, pada zaman Majapahit, Pengeran Diponegoro, Borobudur, dan ain-lain
sudah mempunyai ciri keindonesiaan, yang belum ada hanyalah ciri natie atau
nation (bangsa) Indonesia. Zaman sekarang, kata Sanusi Pane, merupakan
terusan dari zaman dahulu. Ia juga menyarankan agar kebudayaan Indonesia
menyatukan Faust yang didominasi pemikiran, akal (Barat) dan Arjuna yang
didominasi perasaan, nurani (Timur).
Peradaban yang telah dibangun
secara perlahan oleh nenek moyang kita menjadi runtuh dan tak berarti apa-apa
jika kita mengikuti pola pikir Sutan Takdir Alisjahbana. Dengan memutuskan mata
rantai sejarah, Sutan Takdir Alisjahbana seolah-olah menafikan kekayaan rohani
dan kekayaan batin bangsa kita yang terekam dan tercatat dengan baik dalam
karya sastra klasik yang diciptakan sejak abad ketujuh masehi. Meskipun
demikian, kita wajib bersyukur dengan adanya pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana
seperti itu, yang menjadi shock therapy bagi bangsa Indonesia untuk
lebih serius memikirkan masa depan kebudayaannya.
1.2 Sejarah
Pada mulanya, Pujangga baru adalah nama
majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan
adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di
Indonesia. Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein
Pane , Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Jadi, Pujangga Baru bukanlah
suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para
pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki
bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah kedepan.
Barangkali, hanya untuk memudahkan
ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan
Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya
pernah dimuat didalam majalah tersebut. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh
Pustaka Rakyat, Suatu badan yang memang mempunyai perhatian terhadap
masalah-masalah kesenian. Tetapi seperti telah disinggung diatas, pada zaman
pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang
dengan alasan karena kebarat-baratan. Namun setelah Indonesia merdeka, majalah
ini diterbitkan lagi (hidup 1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan
Takdir Alisjahbana dan beberapa tokoh-tokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani,
Rivai Apin dan S. Rukiah. Mengingat masa hidup Pujangga Baru ( I ) itu antara
tahun 1933 sampai dengan zaman Jepang , maka diperkirakan para penyumbang
karangan itu paling tidak kelahiran tahun 1915-an dan sebelumnya. Dengan
demikian, boleh dikatan generasi Pujangga Baru adalah generasi lama. Sedangkan
angkatan 45 yang kemudian menyusulnya merupakan angkatan bar yang jauh lebih
bebas dalam mengekspresikan gagasan-gagasan dan kata hatinya.
Ketika sastra Indonesia dikuasai oleh angkatan
Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih dikenal sebagai Masa Angkatan Pujangga
Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada
Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung lidah para
pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga serangkai
pujangga baru, yaitu Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Dalam manivestasi pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu,
selain melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya suatu bangsa, juga
mendorong bangsa tersebut ke arah kemajuan.
Sebenarnya para pujangga baru
serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para
pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers). Hal ini tak mengherankan sebab
pada jaman itu banyak para pemuda Indonesia yang berpendidikan barat, bukan
saja mengenal, bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda. Di antara
para pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya Willem Kloos
dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran Sangihe yang
beragama Protestan dan merupakan penyair religius sangat dipengaruhi oleh
Willem Kloos.
Lain halnya dengan Hamka. Ia
pengarang prosa religius yang bernafaskan Islam, lebih dipengaruhi oleh
pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan Sanusi Pane lebih
banyak dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal sebagai seorang
pengarang mistikus ke-Timuran.
Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga
Baru adalah Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat
Melayu. Jiwa Barat itu rupanya jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir
Alisyahbana. Lebih jelas lagi tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap
sebagai perintis kesusastraan modern. Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat
itu menguasai dirinya secara lahir batin. Masih banyak lagi para pujangga baru
lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala, Adinegoro, A. Hasjemi,
Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari segala penjuru
tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya.
Mereka berlomba-lomba, namun tetap satu dalam cita-cita dan semangat
mereka, yaitu semangat membangun kebudayaan Indonesia yang baru dan maju.
Itulah sebabnya mereka dapat bekerjasama, misalnya saja dalam memelihara dan
memajukan penerbitan majalah Pujangga Baru.
KARAKTERESTIK ANGKATAN PUJANGGA BARU
1. Dinamis
2. Bercorak romantik/idealistis, masih
secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja kalau romantik angkatan Siti
Nurbaya bersifat fasip, sedangkan angkatan Pujangga Baru aktif romantik. Hal
ini berarti bahwa cita-cita atau ide baru dapat mengalahkan atau menggantikan
apa yang sudah dianggap tidak berlaku lagi.
3. Angkatan Pujangga Baru menggunakan bahasa
Melayu modern dan sudah meninggalkan bahasa klise. Mereka berusaha membuat
ungkapan dan gaya bahasa sendiri. Pilihan kata, Penggabungan ungkapan serta
irama sangat dipentingkan oleh Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu
dicari-cari
4. Ditilik bentuknya, karya angkatan Pujangga
Baru mempunyai ciri-ciri:
a. Bentuk puisi yang memegang peranan
penting adalah soneta, disamping itu ikatan-ikatan lain seperti quatrain dan
quint pun banyak dipergunakan. Sajak jumlah suku kata dan syarat-syarat puisi
lainnya sudah tidak mengikat lagi, kadang-kadang para Pujangga Baru mengubah
sajak atau puisi yang pendek-pendek, cukup beberapa bait saja. Sajak-sajak yang
agak panjang hanya ada beberapa buah, misalnya ”Batu Belah” dan ”Hang Tuah”
karya Amir Hamjah.
b. Tema dalam karya prosa (roman) bukan lagi
pertentangan faham kaum muda dengan adat lama seperti angkatan Siti Nurbaya,
melainkan perjuangan kemerdekaan dan pergerakan kebangsaan, misalnya pada roman
Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana
c. Bentuk karya drama pun banyak dihasilkan pada masa Pujangga Baru dengan
tema kesadaran nasional. Bahannya ada yang diambil dari sejarah dan ada pula
yang semata-mata pantasi pengarang sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis.
Genre prosa Angkatan 33 (Pujangga Baru) berupa:
a. R O M A N
Roman pada angkatan 33 ini banyak menggunakan bahasa
individual, pengarang membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri,
pelaku-pelaku hidup/ bergerak, pembaca seolah-olah diseret ke dalam
suasana pikiran pelaku- pelakunya, mengutamakan jalan pikiran dan
kehidupan pelaku-pelakunya. Dengan kata lain, hampir semua buku roman
angkatan ini mengutamakan psikologi.
Isi roman angkatan ini tentang segala persoalan yang
menjadi cita-cita sesuai dengan semangat kebangunan bangsa Indonesia pada
waktu itu, seperti politik, ekonomi, sosial, filsafat, agama,
kebudayaan.Di sisi lain, corak lukisannya bersifat romantis idealistis.
Contoh roman pada angkatan ini, yaitu Belenggu karya Armyn Pane
(1940) danLayar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana. Di samping itu,
ada karya roman lainnya, diantaranya Hulubalang Raja (Nur Sutan
Iskandar, 1934), Katak Hendak
Menjadi Lembu (Nur Sutan Iskandar,
1935), Kehilangan Mestika (Hamidah, 1935), Ni Rawit (I Gusti Nyoman, 1935),
Sukreni Gadis Bali (Panji Tisna, 1935), Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka,
1936), I Swasta Setahun di Bendahulu (I Gusti Nyoman dan Panji Tisna, 1938), Andang Teruna (Soetomo Djauhar
Arifin, 1941), Pahlawan
Minahasa (M.R.Dajoh, 1941).
b. N O V E L / C E R P E N
Kalangan Pujangga Baru (angkatan 33) tidak banyak
menghasilkan novel/cerpen. Beberapa pengarang
tersebut, antara lain:
(1). Armyn Pane dengan cerpennya Barang Tiada Berharga dan Lupa.
Cerpen itu dikumpulkan dalam kumpulan cerpennya yang
berjudul Kisah Antara Manusia (1953).
(2). Sutan Takdir Alisyahbana dengan cerpennya Panji Pustaka.
c. E S S A Y DAN K R I T I K
Sesuai dengan persatuan dan timbulnya kesadaran
nasional, maka essay pada masa angkatan ini mengupas soal bahasa,
kesusastraan, kebudayaan, pengaruh barat, soal-soal masyarakat
umumnya.Semua itu menuju keindonesiaan. Essayist yang paling produktif di
kalangan Pujangga Baru adalah STA.Selain itu, pengarang essay lainnya
adalah Sanusi Pane dengan essai Persatuan Indonesia, Armyn Pane
dengan essaiMengapa Pengarang Modern
Suka Mematikan, Sutan Syahrir
dengan essaiKesusasteraan dengan Rakyat, Dr. M. Amir dengan essai Sampai di Mana KemajuanKita.
d. D R A M A
Angkatan 33 menghasilkan drama berdasarkan kejadian
yang menunjukkankebesaran dalam sejarah Indonesia. Hal ini merupakan perwujudan
tentang anjuran mempelajari sejarah kebudayaan dan bahasa sendiri untuk
menanam rasakebangsaan. Drama angkatan 33 ini mengandung semangat romantik
dan idealisme, lari dari realita kehidupan masa penjjahan tapi
bercita-cita hendak melahirkan yang baru.
Contoh:
Sandhyakala ning Majapahit karya Sanusi
Pane (1933)
Ken Arok dan Ken Dedes karya Moh.
Yamin (1934)
Nyai Lenggang Kencana karya Arymne
Pane (1936)
Lukisan Masa karya Arymne Pane (1937)
Manusia Baru karya Sanusi Pane (1940)
Airlangga karya Moh. Yamin (1943)
e. P U I S I
Puisi Pujangga Baru adalah awal puisi Indonesia modern. Untuk memahami
puisi Indonesia modern sesudahnya dan puisi Indonesia secara keseluruhan,
penelitian puisi Pujangga Baru penting dilakukan. Hal ini disebabkan karya
sastra, termasuk puisi, tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11),
termasuk karya sastra. Di samping itu, karya sastra itu merupakan response
(jawaban) terhadap karya sastra.
Karya sastra, termasuk puisi,
dicipta sastrawan. Sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak terlepas dari
latar sosial–budaya dan kesejarahan masyarakatnya. Begitu juga, penyair
Pujangga Baru tidak lepas dari latar sosial-budaya dan kesejarahan bangsa
Indonesia. Puisi Pujangga Baru (1920-1942) itu lahir dan berkembang pada saat
bangsa Indonesia menuntut kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Oleh karena itu,
perlu diteliti wujud perjuangannya, di samping wujud latar sosial-budayanya.
Untuk memahami puisi secara
mendalam, juga puisi Pujangga Baru, perlu diteliti secara ilmiah keseluruhan
puisi itu, baik secara struktur estetik maupun muatan yang terkandung di
dalamnya. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada penelitian puisi Pujangga Baru
yang tuntas, sistematik, dan mendalam. Sifatnya penelitian yang sudah ada itu
impresionistik, yaitu penelaahan hanya mengenai pokok-pokoknya, tanpa analisis
yang terperinci, serta diuraikan secara ringkas.
Puisi merupakan struktur yang kompleks. Oleh karena itu, dalam penelitian puisi Pujangga Baru digunakan teori dan metode struktural semiotik. Kesusastraan merupakan struktur ketandaan yang bermakna dan kompleks, antarunsurnya terjadi hubungan yang erat (koheren). Tiap unsur karya sastra mempunyai makna dalam hubungannya dengan unsur lain dalam struktur itu dan keseluruhannya Akan tetapi, strukturalisme murni yang hanya terbatas pada struktur dalam (inner structure) karya sastra itu mengasingkan relevansi kesejarahannya dan sosial budayanya. Oleh karena itu, untuk dapat memahami puisi dengan baik serta untuk mendapatkan makna yang lebih penuh, dalam menganalisis sajak dipergunakan strukturalisme dinamik , yaitu analisis struktural dalam kerangka semiotik. Karya sastra sebagai tanda terikat kepada konvensi masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari jalinan sejarah dan latar sosial budaya masyarakat yang menghasilkannya, seperti telah terurai di atas.
Puisi merupakan struktur yang kompleks. Oleh karena itu, dalam penelitian puisi Pujangga Baru digunakan teori dan metode struktural semiotik. Kesusastraan merupakan struktur ketandaan yang bermakna dan kompleks, antarunsurnya terjadi hubungan yang erat (koheren). Tiap unsur karya sastra mempunyai makna dalam hubungannya dengan unsur lain dalam struktur itu dan keseluruhannya Akan tetapi, strukturalisme murni yang hanya terbatas pada struktur dalam (inner structure) karya sastra itu mengasingkan relevansi kesejarahannya dan sosial budayanya. Oleh karena itu, untuk dapat memahami puisi dengan baik serta untuk mendapatkan makna yang lebih penuh, dalam menganalisis sajak dipergunakan strukturalisme dinamik , yaitu analisis struktural dalam kerangka semiotik. Karya sastra sebagai tanda terikat kepada konvensi masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari jalinan sejarah dan latar sosial budaya masyarakat yang menghasilkannya, seperti telah terurai di atas.
Di samping itu, untuk memahami
struktur puisi Pujangga Baru, perlu juga diketahui struktur puisi sebelumnya,
yaitu puisi Melayu lama yang direspons oleh puisi Pujangga Baru.
PENGARANG DAN KARYANYA
1. Sutan
Takdir Alisjahbana
Orang besar ini dilahirkan di
Natal (Tapanuli) pada 11-02-1908. Setelah
menamatkan HIS di Bengkulu ia memasuki Kweekschool di Bukitinggi dan
kemudian HKS di Bandung. Setelah itu ia belajar untuk Hoof Dacte di Jakarta dan
juga belajar pada Sekolah Hakim Tinggi. Selain itu belajar pula tentang
filsafat dan kebudayaan pada Fakultas sastra. Pendidikan yang beraneka ragam
yang pernah dialaminya serta cita-cita dan keinginan yang keras itu,
menyebabkan keahlian yang bermacam-macam pula pada dirinya. Karangannya
mempunyai bahasa yang sederhana tetapi tepat. Karya-karyanya antara lain:
a. Tak Putus Dirundung Malang (roman,
1929)
b. Dian Tak Kunjung Padam (roman,
1932)
c. Anak Perawan Disarang Penyamun (roman,
1941)
d. Layar Terkembang (roman tendenz,
1936)
e. Tebaran Mega (kumpulan
puisi/prosa lirik, 1936)
f. Melawat Ke Tanah Sriwijaya (kisah,
1931/1952)
g. Puisi Lama (1942)
h. Puisi Baru (1946)
2. Amir
Hamzah
Amir Hamzah yang bergelar
Pangeran Indera Putra, lahir pada 28-2-1911 di Tanjungpura (Langkat), dan
meninggal pada bulan Maret 1946. Ia keturunan bangsawan, kemenakan dan menantu
Sultan Langkat, serta hidup ditengah-tengah keluarga yang taat beragama Islam.
Ia mengunjungi HIS di Tanjungpura, Mulo di Medan, dan Jakarta AMS, AI (bagian
Sastra Timur) di Solo. Ia menuntut ilmu pada Sekolah Hakim Tinggi sampai
kandidat. Amir Hamzah lebih banyak mengubah puisi sehingga mendapat sebutan
“Raja Penyair” Pujangga Baru. Karya-karyanya antara lain:
a. Nyanyi Sunyi (kumpulan sajak,
1937)
b. Buah Rindu (kumpulan sajak, 1941)
c. Setanggi Timur (kumpulan
sajak, 1939)
d. Bhagawad Gita (terjemahan salah
satu bagian mahabarata)
3. Sanusi
Pane
Sanusi Pane lahir di Muara
Sipongi, 14-11-1905. Ia mengunjungi SR di Padang Sidempuan, Sibolga, dan
Tanjungbalai, kemudian HIS Adabiyah di Padang, dan melanjutkan pelajarannya ke
Mulo Padang dan Jakarta, serta pendidikannya pada Kweekschool Gunung Sahari
Jakarata pada tahun 1925. Pada tahun 1928, ia pergi ke India untuk memperdalam
pengetahuannya tentang kebudayaan India. Sekembalinya dari India ia memimpin
majalah Timbul. Di samping sebagai guru pada Perguruan Jakarta, ia
menjabat pemimpin surat kabar Kebangunan dan kepala pengarang Balai
Pustaka sampai tahun 1941. Pada jaman pendududkan Jepang menjadi pegawai tinggi
Pusat Kebudayaan Jakarta dan kemudian bekerja pada Jawatan Pendidikan
Masyarakat di Jakarta.
Karya-karyanya antara lain:
a. Pancaran Cinta (kumpulan
prosa lirik, 1926)
b. Puspa Mega (kumpulan puisi, 1927)
c. Madah Kelana (kumpulan
puisi, 1931)
d. Kertajaya (sandiwara, 1932)
e. Sandyakalaning Majapahit (sandiwara,
1933)
f. Manusia Baru (Sandiwara,
1940)
4. Muhamad
Yamin, SH.
Prof. Muhammad Yamin, SH.
dilahirkan di Sawahlunto, Sumbar, 23 agustus 1905. Setelah menamatkan
Volkschool, HIS dan Normaalschool, ia mengunjungi sekolah-sekolah vak seperti
sekolah pertanian dan peternakan di Bogor. Kemudian menamatkan AMS di
Jogyakarta pada tahun 1927. Akhirnya ia memasuki Sekolah Hakim di Jakarta
hingga bergelar pada tahun 1932. Pekerjaan dan keahlian Yamin beraneka ragam,
lebih-lebih setelah Proklamasi Kemerdekaan 19’45, ia memegang jabatan-jabatan
penting dalam kenegaraan hingga akhir hayatnya (26 Oktober 1962). Ia pun tidak
pernah absen dalam revolusi.
Karya-karyanya antara lain:
a. Tanah Air (kumpulan puisi,
1922)
b. Indonesia Tumpah Darahku (kumpulan
puisi, 1928)
c. Menanti Surat dari Raja (sandiwara,
terjemahan Rabindranath Tagore)
d. Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah
Tangga (Terjemahan dari Rabindranath Tagore)
e. Ken Arok dan Ken Dedes (sandiwara,
1934)
f. Gajah Mada (roman sejarah,
1934)
g. Dipenogoro (roman sejarah, 1950)
h. Julius Caesar (terjemahan dari
karya Shakespeare)
i. 6000 Tahun Sang Merah Putih
(1954)
j. Tan Malaka (19’45)
k. Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (sandiwara,
1957)
5. J.E.
Tatengkeng
Lahir di Kalongan, Sangihe, 19
Oktober 1907. Pendidikannya dimulai dari SD kemudian pindah ke HIS Tahuna.
Kemudian pindah ke Bandung, lalu ke KHS Kristen di Solo. Ia pernah menjadi
kepala NS Tahuna pada tahun 1947. Karya-karyanya bercorak religius. Dia juga
sering melukiskan Tuhan yang bersifat Universal. Karyanya antara lain Rindu
Dendam (kumpulan sajak, 1934).
6. Hamka
Hamka adalah singkatan dari
Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 16
Februari 1908. Dia putera Dr. H. Abdul Karim Amrullah, seorang teolog Islam
serta pelopor pergerakan berhaluan Islam modern dan tokoh yang ingin membersihkan
agama Islam dari khurafat dan bid’ah. Pendidikan Hamka hanya sampai kelas dua
SD, kemudian mengaji di langgar dan madsrasah. Ia pernah mendapat didikan dan
bimbingan dari H.O.S Tjokroaminoto. Prosa Hamka bernafaskan religius menurut
konsepsi Islam. Ia pujangga Islam yang produktif.
Karyanya antara lain:
a. Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
b. Di Dalam Lembah kehidupan (kumpulan
cerpen, 1941)
c. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (roman,
1939)
d. Kenang-Kenangan Hidup (autobiografi,
1951)
e. Ayahku (biografi)
f. Karena Fitnah (roman, 1938)
g. Merantau ke Deli (kisah;1939)
h. Tuan Direktur (1939)
i. Menunggu Beduk Berbunyi (roman,
1950)
j. Keadilan Illhi
k. Lembaga Budi
l. Lembaga Hidup
m. Revolusi Agama
7. M.R.
Dajoh
Marius Ramis Dajoh lahir di
Airmadidi, Minahasa, 2 November 1909. Ia
berpendidikan SR, HIS Sirmadidi, HKS Bandung, dan Normaalcursus di Malang.
Pada masa Jepang menjabatat kepala bagian sandiwara di kantor Pusat Kebudayaan.
Kemudian pindah ke Radio Makasar. Dalam karya Prosanya sering menggambarkan
pahlawanpahlawan
yang berani, sedang dalam puisinya sering meratapi kesengsaraan masyarakat.
Karyanya antara lain:
a. Pahlawan Minahasa (roman;
1935)
b. Peperangan Orang Minahasa dengan Orang
Spanyol (roman, 1931)
c. Syair Untuk Aih (sajaka,
1935)
8. Ipih
Ipih atau H.R. adalah nama
samaran dari Asmara Hadi. Dia lahir di Talo,
Bengkulu, tanggal 5 September 1914. Pendidikannya di HIS Bengkulu, Mulo Jakarta,
Bandung serta Mulo Taman Siswa Bandung. Lebih dari setahun ia ikut dengan Ir.
Soekarno di Endeh. Setelah menjadi guru, ia menjadi wartawan dan pernah
memimpin harian Pikiran Rakyat di Bandung. Dalam karyanya terbayang semangat
gembira dengan napas kebangsaan dan perjuangan. Karya-karyanya antara lain:
a. Di Dalam Lingkungan Kawat Berduri
(catatan, 1941)
b. Sajak-sajak dalam majalah
9. Armijn
Pane
Armijn Pane adalah adik dari
Sanusi Pane. Lahir di Muarasipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1908. Ia
berpendidikan HIS, ELS, Stofia Jakarta pada tahun 1923, dan pindah ke Nias,
Surabaya, dan menamatkan di Solo. Kemudian menjadi guru bahasa dan sejarah di
Kediri dan Jakarta serta pada tahun 1936 bekerja di Balai Pustaka. Pada masa
pendudukan Jepang menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di Kantor Pusat Kebudayaan
Jakarta, serta memimpin majalah Kebudayaan Timur.
Karyanya antara lain:
a. Belenggu (roman jiwa, 1940)
b. Kisah Antara Manusia (kumpulan
cerita pendek, 1953)
c. Nyai Lenggang Kencana (sandiwara,
1937)
d. Jiwa Berjiwa (kumpulan sajak, 1939)
e. Ratna (sandiwara, 1943)
f. Lukisan Masa (sandiwara,
1957)
g. Habis Gelap Terbitlah Terang (uraian
dan terjemahan surat-surat R.A Kartini, 1938)
10. Rustam
Effendi
Lahir di Padang, 18 Mei 1905.
Dia aktif dalam bidang politik serta pernah
menjadi anggota Majelis Perwakilan Belanda sebagai utusan Partai Komunis.
Dalam karyanya banyak dipengaruhi oleh bahasa daerahnya, juga sering mencari
istilah-istilah dari Bahasa Arab dan Sansakerta. Karyanya antara lain:
a. Percikan Permenungan (kumpulan
sajak, 1922)
b. Bebasari (sandiwara bersajak, 1922)
11. A.
Hasjmy
A. Hasjmy nama sebenarnya
adalah Muhammad Ali Hasjmy. Lahir di Seulimeun, Aceh, 28 Maret 1912. Ia berpendidikan
SR dan Madrasah Pendidkan Islam. Pada tahun 1936 menjadi guru di Perguruan
Islam Seulimeun.
Karya-karyanya antara lain:
a. Kisah Seorang Pengembara (kumpulan
sajak, 1936)
b. Dewan Sajak (kumpulan sajak, 1940)
12. Imam
Supardi
Karya-karyanya antara lain:
a. Kintamani (roman)
b. Wishnu Wardhana (drama, 1937)
Sastrawan dan penyair lainnya
dari angkatan Pujangga Baru:
13. Mozasa, singkatan dari Mohamad Zain Saidi
14. Yogi, nama samaran A. Rivai, kumpulan sajaknya Puspa Aneka
15. A.M. DG. Myala, nama sebenarnya A.M Tahir
16. Intojo alias Rhamedin Or
Mandank
,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar