Minggu, 30 Maret 2014

Sifat-sifat Sastra



Nama Anggota            :
*   Wiwin Nur Indah Sari
*   Maria Ida Fangohoi
*   Katrina Ratu
*   Meryana Romulus           
*   Mateus Senu Samon
Prodi                           : FKIP Bahasa dan Satra Indonesia
Kelas                           : 2013 A
Mata Kuliah                : Teori Sastra


BAB 2
SIFAT-SIFAT SASTRA

              Salah satu batasan “sastra” adalah segala sesuatu yang tertulis stsu tercetak. Ilmuan sastra “tidak terbatas pada belles letters atau manuskrip cetakan atau tulisan dalam mempelajari sebuah periode atau kebudayaan”, dan kerja ilmuan sastra harus dilihat “dari sumbangnnya pada sejarah kebudayaan”.
              Menurut teori Greenlaw dan praktek banyak ilmuan lain, studi sastra bukan hanya berkaitan erat, tapi identik dengan sejarah kebudayaan. Studi yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan cendenrung menggeser studi sastra yang murni. Menyamakan sastra dengan sejarah kebudayaan berarti menolak studi sastra sebagai bidang ilmu dengan metode-metodenya sendiri.
              Cara lain untuk memberi definisi pada sastra adalah membatasinya pada “mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap “menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya”. Dalam hal ini, kriteria yang dipakai adalah segi estetis, atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah.
              Untuk tujuan-tujuan pendidikan, studi mahakarya memang sangat dianjurkan. Dalam ilmu sejarah, filsafat, dan ilmu-ilmu lain, pendekatan mahakarya ini memberi penekanan berlebihan pada segi “estetis”. Nampaknya istilah “sastra” paling tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sebagai karya imajinatif. Sedangkan istilah “sastra imajinatif” (imaginative literature) dan belles letters (“tulisan yang indah dan sopan”, berasal dari bahasa Prancis. Istilah Inggris literature (yang berasal dari kata Latin litera) mengacu pada karya tulis atau cetak. Dalam hal ini, istilah Jerman Wortkunst atau istilah Rusia slovesnost lebih luas jangkauannya dan lebih cocok.
              Bahasa adalah bahan baku kesusastraan, tetapi perlu disadari bahwa bahasa bukan benda mati dan linguistik dari kelompok pemakai bahasa tertentu. Untuk melihat penggunaan bahasa yang khas sastra, kita harus membedakan bahasa sastra, bahasa sehari-hari dan bahasa ilmiah. Sastra juga mengandung pikiran, sedangkan bahasa emosional tidak dimiliki oleh sastra. Bagaimanapun, bahasa ilmiah bersifat arbitrary (dipilih secara kebetulan, tanpa aturan tertentu), jadi dapat digantikan oleh tanda lain yang sama artinya. Tanda juga bersifat maya, tidak menarik perhatian pada dirinya sendiri, tapi menunjuk langsung pada yang diacunya.
              Jadi bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistem tanda matematika atau logika simbolis. Dibandingkan dengan bahasa ilmiah, dalam beberapa hal bahasa sastra nampak mempunyai kekurangan. Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi , mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya. Dengan kata lain bahasa sastra sangat “konotatif” sifatnya. Bahasa sastra bukan sekedar bahasa referential, yang hanya mengacu pada satu hal tertentu. Bahasa sastra mempunyai nada (tone) dan sikap pembicara atau penulisnya. Yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda, simboisme suara dari kata-kata.
              Perbedaan dengan bahasa ilmiah ini bisa dilihat dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda pada berbagai jenis sastra. Yang lebih sulit adalah membedakan bahasa sastra dan bahasa sehari-hari. Jadi pertama-tama hanya secara kuantitatif saja dapat kita bedakan bahasa dan sastra dan bahasa sehari-hari. Bagaimanapun juga setiap karya sastra menciptakan suatu keteraturan, menyusun, dan memberi kesatuan pada bahan bakunya.
              Perbedaan pragmatis antara bahasa sastra dan bahasa sehari-hari lebih jelas. Seni menciptakan sejenis kerangka yang menempatkan setiap pernyataannya diluar dunia nyata. “fiksionalitas”, “ciptaan”, dan “imajinasi” sebagai ciri-ciri khas sastra, mungkin kita mengacu pada karya-karya Homer, Dante, Shakespeare, Balzac, Keats. Istilah sastra sebagai karya “imajinatif” di sini tidak berarti bahwa setiap karya sastra harus memakai imajinasi. Biasanya penulis membuat suatu gambaran umum yang skematis, yang dibangun atas satu kecenderungan fisik tertentu, sebenarnya pengarang cukup memberikan gambaran umum yang skematis dan tidak dipenuhi dengan detil.

SPBI



Nama          : Wiwin Nur Indah Sari
NPM : 130401080001
Kelas : 2013 A
MK   : SPBI

Strategi pengembangan :
1.  Strategi pemberian makna baru
*      Ibu, memiliki makna asal orang tua kandung yang wanita, tapi sekarang bermakna untuk menyebut wanita yang berkedudukan lebih tinggi daripada kita.
*      Putra dan putri, semula digunakan hanya untuk menyebut anak-anak raja, tapi sekarang digunakan untuk menyebut anak laki-laki dan perempuan pada umumnya.
*      Ustad, makna asal kata ustad adalah guru, namun sekarang terbatas menjadi guru mengaji atau guru agama islam.
*      Sarjana, dulu dipakai untuk menyebut cendekiawan, pintar, dan berilmu, tapi sekarang digunakan untuk menyebut orang yang telah lulus dari jenjang strata satu di perguruan tinggi.
*      Kursi,  memiliki makna asal tempat duduk yang berkaki dan bersandaran, tapi sekarang kedudukan atau jabatan.

2.  Mengaktifkan kembali unsur yang sudah mati
*    Kancana, yaitu emas.
*    Amaranggana, yaitu bidadari.
*    Agni, yaitu api.
*    Ajeng, yaitu puteri.
*    Daksa, yaitu mahir, pandai.

3.  Pembentukan kata majemuk
*    Matahari, yaitu sumber gas pijar yang sangat besar atau sumber segala energi sumber kalor yang utama di dunia ini.
*    Kapal laut, yaitu sarana angkutan laut.
*    Panjang tangan, yang berarti pencuri.
*    Anak emas, anak kesayangan.
*    Pejabat tinggi, pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting.


4.  Penciptaan baru lewat proses penamaan baru/pengakroniman
*    Tabika, yaitu taman bimbingan kanak-kanak.
*    Gapena, yaitu gabungan penulis nasional.
*    Kugiran, yaitu kumpulan gitar rancak.
*    Proton, yaitu perusahaan otomobil nasional.
*    Pernas, yaitu perbadanan nasional.

Kongres Bahasa Indonesia



Nama   : Wiwin Nur Indah Sari
NPM   : 130401080001
Kelas   : 2013 A
MK      : SPBI

KEPUTUSAN
KONGRES BAHASA INDONESIA PERTAMA
Solo, 25--27 Juni 1938

1.    Sesudah mendengarkan dan memperkatakan praeadvies tuan Mr. Amir Sjarifoeddin tentang “Menyesuaikan kata dan paham asing ke dalam bahasa Indonesia”, maka Kongres mengambil kata-kata asing untuk ilmu pengetahuan, kata-kata itu diambil dari perbendaharaan umum.
2.    Sesudah mendengarkan dan bertukar pikiran dengan praeadvies tuan St. Takdir Alisjahbana hal “Pembaharuan bahasa dan usaha mengaturnya”, maka sepanjang pendapatan Kongres, sudah ada pembaharuan bahasa yang timbul karena ada cara berpikir yang baru, oleh karena itu perlu mengatur pembaharuan tersebut.
3.    Sesudah mendengarkan praeadvies tuan St. Takdir Alisjahbana dalil ke-4 dan Mr. Muh Yamin, maka Kongres berpendapat bahwa perlunya menyusun gramatika baru menurut wujud bahasa Indonesia.
4.    Ejaan baru tidak perlu diadakan sampai Kongres mengadakan ejaan sendiri, bahwa ejaan Van Ophuysen sementara boleh diterima, tetapi karena mengingat kehematan dan kesederhanaan, perlu dipikirkan perubahan seperti yang disebutkan oleh praeadviseur.
5.    Kaum wartawan berdaya upaya mencari jalan-jalan untuk memperbaiki bahasa di dalam persuratkabaran.
6.    Sesudah mendengarkan praeadvies Ki Hadjar Dewantara dalil yang ke-9 yang disokong oleh tuan R.M. Ng. Dr. Poerbotjaroko, maka Kongres Bahasa Indonesia memutuskan bahwa Kongres berpendapat supaya di perguruan menengah diajarkan ejaan internasional.
7.    Sesudah mendengarkan praeadvies tuan Soekardjo Wirjopranoto tentang “Bahasa Indonesia dalam Badan Perwakilan”, yang diucapkan dan dipertahankan oleh tuan R.P. Soeroso, maka Kongres mengeluarkan pengharapan, yaitu pertama mengeluarkan penghargaan supaya menunjang usaha untuk menjadikan bahasa Indonesia yang sah dan bahasa untuk undang-undang negeri.
8.    Sesudah mendengar praeadvies tuan Sanoesi Pane tentang “Institut Bahasa Indonesia” dan mendengar pendirian Komite, maka Kongres Bahasa Indonesia memutuskan supaya diangkat suatu komisi untuk memeriksa persoalan mendirikan Institut Bahasa Indonesia dan Kongres mengharap supaya mengumumkan pendapatan komisi tentang soal yang tersebut.
9.    Sesudah mendengar praeadvies tuan-tuan St. Takdir Alisjahbana, Mr. Muh Yamin dan Sanoesi Pane, maka Kongres berpendapat bahwa untuk kemajuan masyarakat Indonesia, penyelidikan bahasa dan kesusastraan dan kemajuan kebudayaan bangsa Indonesia, perlu didirikan Perguruan Tinggi Kesusastraan dengan selekas-lekasnya.

KEPUTUSAN
KONGRES BAHASA INDONESIA KEDUA
Medan, 28 Oktober2 November 1954

            Dibentuk badan yang kompeten yang bertugas menyempurnakan bahasa Indonesia. Hal yang bersangkutan dengan ejaanm Kongres mengusulkan supaya diadakan pembaharuan ejaan, Kongres juga memberikan perhatian pada pemakaian bahasa dalam undang-undang dan administrasi. Bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan tidak mengalami kesulitan dan menyarankan supaya digiatkan pemakaian istilah ilmiah internasional dan penggalian istilah dari bahasa daerah yang serumpun. Hal yang bersangkutan dengan bahasa dalam film, Kongres menganjurkan supaya pembuatan film memakai bahasa Indonesia yang baik, tetapi tidak boleh mengadakan paksaan untuk mengadakan bahasa Indonesia yang sejenis (uniform) karena dalam menciptakan sebuah film haruslah disesuaikan bahasanya dengan cerita, yang berbeda-beda menurut suasana dan daerah. Hal yang menarik adalah resolusi tentang bahasa Indonesia dalam pers dan radio, yang menyatakan bahwa “Bahasa Indonesia di dalam radio dan pers tidak dapat dianggap sebagai bahasa yang tak terpelihara dan rusak, karena merupakan bahasa umum yang langsung mengikuti pertumbuhan berbagai fungsi masyarakat”. Di samping kertas kerja, juga didengarkan prasaran dari para sarjana luar negeri tentang bahasa Indonesia di luar negeri, antara lain dari Prop. Berg dan Dr. Teeuw.

KEPUTUSAN
KONGRES BAHASA INDONESIA KETIGA
Jakarta, 28 Oktober3 November 1978

Kongres telah mengambil kesimpulan dan usul tindak lanjut pembinaan dan pengembangan bahasa dalam kaitannya dengan (1) kebijaksanaan kebudayaan, keagamaan, sosial, politik, dan ketahanan nasional, (2) bidang pendidikan, (3) bidang komunikasi, (4) bidang kesenian, (5) bidang linguistik, (6) bidang pengetahuan dan teknologi, diantaranya :
1.    Karena kebijaksanaan bahasa nasional ialah bagian integral kebudayaan nasional, perlu segera diadakan Kongres Kebudayaan Nasional.
2.    Untuk mengarahkan pelaksanaan pembinaan dan pengembangan bahasa perlu dibentuk Dewan Nasional Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
3.    Untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan perlu segera dibentuk Badan Penterjemahan Nasional.
4.    Diperlukan sarana perundang-undangan untuk mengatur penggunaan kemahiran bahasa Indonesia sebagai salah satu prasyarat keprofesian kepegawaian dalam sektor pemerintah dan swasta.
5.    Perlu disediakan bahan pengajaran yang bermutu, metode dan sarana pengajaran, dan guru-guru bahasa Indonesia harus segera diberi penataran dalam ketrampilan berbahasa serta penggunaan metode dan sarana pengajaran. Kebijaksanaan menyeluruh mengenai pembinaan guru bahasa Indonesia perl diadakan.
6.    Perpustakaan sekolah perlu ditingkatkan dan perlu diadakan evaluasi buku-buku pelajaran mengenai ketepatan isinya dan keserasian bahasanya.
7.    Akronim yang dipakai di luar lingkungan khusus hendaknya disertai dengan bentuk lengkapnya. Penggunaan di dalam media masa hendaknya dihindari.
8.    Perlu diatur transliterasi tulisan Arab untuk kepentingan keagamaan, ilmiah, dan umum.
9.    Awal pelita III hendaknya digalakkan penterjemahan besar-besaran.
10.  Bahasa daerah perlu diberi tempat yang wajar dalam kurikulum sekolah.
11.  Mutu pengajaran bahasa asing perlu ditingkatkan, terutama bahasa Inggris sebagai sarana penggalian ilmu dan teknologi dan sarana komunikasi antar bangsa.
12.  Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa mengadakan kerja sama yang efektif dengan pers, televisi dan radio dalam usaha keefesienan pengembangan bahasa.
13.  Bersama dengan Dewan Pers dan lembaga lain Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa hendaknya segera menyusun pedoman lafal.